Oleh: Dian Ayu Safitri
KSEI SEF Universitas Gunadarma,
dianayusaf.sef@gmail.com
RASULULLAH bersabda, “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamu. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangga.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibn Hajar Al-Haitami berkata, Barang siapa yang beriman kepada Allah, selamat dari azab Allah sampai kepada ridho Allah. Orang yang melaksana kan 3 hal ini, kalau beriman maka ia berbicara yang baik atau diam, kalau ia beriman maka ia memuliakan tamu dan memuliakan tetangga. Maka inilah kesempurnaan iman.
Menurut Ibn Hajar Al-Haitami kalimat ini seperti halnya seorang ayah yang berbicara dengan anaknya untuk memberikan semangat atau motivasi untuk taat. Jadi maksud dari hadits ini adalah agar orang-orang menjaga lisannya, memuliakan tamu dan juga tetangga.
BACA JUGA: Ujian Tergantung Kadar Keimanan
Yaitu hari akhir, tempat dibalasnya segala amal-amal; amal yang baik maupun amal yang buruk. Tidak disebutkan hal lain, selain peringatan dan pengarahan yang membangkitkan jiwa dan membangun ruh, menggerakkan keinginan supaya dilaksanakannya 3 hal yang merupakan tanda orang yang beriman.
Orang yang beriman kepada hari akhir hendaklah ia berkata yang baik-baik. Jadi, apabila sudah jelas apa yang ingin kita ucapkan; baik dan juga benar, tidak menimbulkan hal yang buruk, tidak membawa kepada ucapan yang haram atau makruh, barulah kita berbicara.
Dari hal ini kita ketahui bahwa hendaklah kita berpikir terlebih dahulu sebelum kita berbicara. Kita juga disunnahkan untuk diam meski yang dikatakan adalah mubah. Karena apabila diteruskan untuk berbicara, takut akan jatuh kedalam makruh atau haram. Kalaupun tidak jatuh ke makruh ataupun haram, bisa jadi hanya akan menghabisi waktu untuk hal yang sama sekali tidak ada manfaatnya.
“Tidak satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada malaikat yang mengawasi dan mencatat di dekatnya.” (QS. Qaf: 18). Pada ayat ini Allah menyebutkan bahwa ucapan manusia itu tidak luput dari pencatatam dua malaikat yang tugas nya mencatat perbuatan manusia, termasuk ucapan-ucapan yang mubah sekalipun.
Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa ucapan yang di catat oleh malaikat adalah ucapan-ucapan yang bernilai pahala atau dosa, begitulah pendapat dari Ibnu Abbas r.a. dan pendapat dari sahabat Nabi yang lain.
Seorang hamba hendaklah mengerti tentang zamannya, peduli kepada keadaannya, menjaga lidahnya, memperhatikan urusannya, meninggalkan pembicaraan yang tidak penting. Barangsiapa yang menghitung ucapannya, maka sedikitlah bicaranya yang tidak penting.
Di dalam hadits dijelaskan bahwa ada 2 perkara ringan yang Allah tidak berikan kepada hal lain melainkan seperti 2 hal ini, yaitu diam dan akhlak mulia. Adapun riwayat lain yang menjelaskan bahwa tidak akan lurus iman seseorang sebelum lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya sebelum lurus lidahnya.
Imam Thabrani meriwayatkan, seorang hamba tidak akan mencapai hakikat takwa sampai ia bisa menjaga lidah nya. Ada juga riwayat yang menjelaskan bahwa seseorang akan tetap selamat selama seseorang itu diam, karena jika seseorang berbicara, bisa jadi dicatat sebagai pahala atau bisa dicatat sebagai dosa. Imam Ahmad, Imam Nasa’i, dan Imam Tirmidzi juga meriwayatkan, “Ada salah seorang diantara kamu berbicara dengan satu kata dan kata-kata nya diridhoi oleh Allah maka dituliskan Allah ridho-Nya untuk hamba itu sampai hari kiamat. Ada pula orang yang mengeluarkan kata-kata yang buruk, maka dituliskan untuk nya murka Allah sampai hari kiamat”.
Maka dari itu, para ahli hikmah setelah ijma’, menyepakati bahwa induk dari segala hikmah adalah diam. Imam Fudhail bin Iyadh berkata, “tak ada haji, tak ada ribath, tak ada jihad, yang lebih berat daripada menahan lisan”.
Ibnul Mubarok ketika ditanya mengenai nasihat Luqman kepada anaknya, lantas beliau berkata, “Kalaulah bicara itu perak, maka diam adalah emas”. Makna ucapan ini menurut Ibnul Mubarok adalah jika berbicara tentang ketaatan kepada Allah adalah sebuah perak, maka diam dari ghibah, namimah (mengadu domba) adalah emas.
Tetapi apabila melihat kemaksiatan, hukum nya wajib menentangnya dengan tindakan, lisan, dan hati. Menahan diri dari kemaksiatan lebih afdhal daripada melaksanakan ketaatan.
Diam lebih afdhal daripada berbicara, tetapi ada sekelompok dari kalangan salaf yang mengatakan bahwa berbicara itu lebih afdhal karena manfaatnya lebih besar. Imam Abul Qashim Al-Qushayri berkata, “Diam itu adalah selamat, diam pada waktu yang tepat adalah sifat para tokoh, berbicara pada saat nya kita harus berbicara adalah akhlak terbaik. Aku mendengar Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, siapa yang diam ketika kebenaran diinjak-injak, maka ia adalah setan bisu”. Adapun orang-orang yang melawan nafsu itu lebih memilih diam daripada berbicara karena mereka paham bahwa berbicara lebih banyak salah dan di dalamnya ada keberuntungan yang akan memunculkan sifat puji yang pada akhirnya akan memunculkan keinginan agar orang-orang terkagum-kagum. Menahan berbicara ini salah satu cara dari induk nya riyadhoh. Imam Dzul-Nun Al-Misri mengatakan, “Orang yang paling menjaga dirinya adalah orang yang paling bisa mengendalikan lisan nya”.
BACA JUGA: Inilah Dosa Lisan, Besar tapi Terasa Kecil
Maka kesimpulannya adalah selayaknya bagi orang yang beriman kepada Allah; sebenar-benarnya iman, beriman kepada akhirat; bahwa ada balasan baik dan buruk, maka ia mempersiapkan diri; mempersiapkan dari menolak segala hal yang tidak baik, melaksanakan perintah Allah, menjauhi semua yang dilarang Allah, dan yang terpenting adalah bagaimana kita mengendalikan diri kita karena kita sama seperti menggembala hewan gembala. Maka ia bertanggung jawab atas setiap anggota tubuhnya.
Karena seperti yang kita ketahui bahwa maksiat yang paling besar dan membuat kita terjerumus adalah maksiat lidah. Maka ucapkanlah kata-kata yang baik dan tahan lidahmu. []