Oleh: Ahmad Qori’
HAKIKATNYA manusia itu makhluk ciptaan Allah SWT yang sempurna. Kesempurnaan ini membuat manusia berbeda dengan makhluk-mahkluk lainnya, bisa mengendalikan panca indera yang melekat pada dirinya. Dengan panca indera kita sebagai manusia bisa melakukan sesuatu dengan mudahnya. Diantaranya, panca indera yang luar biasa gunanya dan luar biasa juga bahayanya yaitu lisan atau lidah.
Dengan lisan dapat membahagiakan sekaligus menyakiti orang, membuat orang menangis disaat yang sama juga bisa membuat orang tersenyum. Dan tak jarang perdamaian dan permusuhan yang tumbuh di sekitar kita itu sebab akibat dari perbuatan lisan kita.
Bicara masalah lisan, juga tak lepas dari hati sebagai objek dari lisan. Karena apa yang kita perbuat dengan lisan kita akan berpengaruh dengan hati seseorang. Lisan yang kita miliki bisa membawa kita pada faedah dan petaka bagi kita.
Pepatah Arab mengatakan, “Sesungguhnya lisan ibarat binatang buas. Jika engkau ikat, niscaya ia menjagamu. Jika engkau lepas, niscaya ia menerkammu. Karena itu hendaklah engkau berkata sekadarnya dan hendaklah engkau berhati-hati dengannya.”
Lisan itu ibaratkan pisau yang apabila salah menggunakannya maka akan melukai banyak orang. Dari pepatah ini juga keselamatan dan kecelakaan seseorang tergantung pada kemampuannya mengendalikan lisannya.
Berbicara masalah lisan, pada prinsipnya lisan membawa manfaat sekaligus mudharat yang mengikutinya. Hal ini bergantung pada cara kita menggunakan lisan tersebut. Tetapi kita terkadang tidak menghiraukan hal yang ditimbulkan dari apa yang kita keluarkan dari lisan kita. Rasulullah SAW. Bersabda,
سلامة الإنسان في حفظ اللسان
“Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan.” (H.R. al-Bukhori).
Maksud hadis ini, keselamatan yang kita peroleh bergantung pada apa yang kita ucapkan. Jika kita bisa menjaga lisan dan selalu berbuat keburukan yang menimbulkan permusuhan dan selalu menyakiti hati orang lain lebih baik kita diam.
Dalam riwayat lain Abu Hurairah r.a Rasullulah bersabda,
ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيراً أو ليصمت
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang terbaik atau diam.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Imam Nawawi menjelaskan hadis diatas dalam kitab Hadis-hadis Arba’in. Beliau menjelaskan, “Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah apabila seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah berbicara”.
Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara”.
Agama Islam telah mengajarkan tuntunan keharusan kita tuk menggunakan lisan dengan baik dan benar. Allah berfirman, “Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia meraka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, ,maka kami akan memberinya pahala yang besar.” (Q.S. an-Nisaa’[4]: 114).
Dari ayat ini kita disuguhkan pelajaran bahwa Allah menyuruh kita menggunakan lisan untuk hal-hal yang baik. Misalnya dengan menasihati orang tuk berbuat kebaikan, berupaya mendamaikan dua orang yang berseteru juga termasuk kedalam hal-hal yang baik. Menggunakan lisan di jalan kebenaran merupakan ungkapan rasa syukur terhadap Allah sang Khalik.
Dalam pandangan Islam, Jika seseorang tidak bisa berbicara yang mengandung manfaat, maka lebih baik diam. Karena diam akan menyelamatkan kita dan mendidik jiwa menjadi berakhlak mulia. Rasulullah saw. menyatakan hal ini dari dari sabda beliau yang diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah saw. bersabda,
عليك بطول الصمت فإنه مطردة الشيطان وعون لك علي أمردينك
“Hendaklah engkau lebih banyak diam, sebab diam dapat menyingkirkan setan dan menolongmu terhadap urusan agamamu.” (H.R. Ahmad).
Sahabat Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Lisan seorang mukmin berada di belakang hatinya, sedangkan hati orang munafik berada dibelakang lisannya.” (Lukman Santoso, 2008: 29). Maksudnya peran lisan bagi seorang muknin selalu terkontrol dan terjaga. Apa yang akan ia ucapkan merupakan hasil pertimbangan dari hati dan pikirannya. Sehingga tidak menyakiti orang lain atau lawan bicaranya. Berbeda dari orang yang munafik lisannya tidak terkendalikan oleh hatinya. Apa yang ia bicarakan berbeda jauh dari yang sebenarnya atau dari hatinya.
Kembali ini menunjukkan bahwa peran lisan sangat berperan dalam membentuk kepribadian kita. Sahabat Ali juga menambahkan, “Lisanmu menuntut apa yang telah engkau biasakan kepadanya, dan lisan cenderung tidak mematuhi pemiliknya. Karena itu, lisanmu laksana binatang buas yang jika dilepaskan maka akan menggigitmu atau menggigit orang-orang disekitarmu.” ( Lukman Santoso, 2008: 30-31).
Dari penjelasan ini, sejatinya apa yang keluar dari lisan kita itu sesuai dengan kebiasaan dan kepribadian kita. Jika lisan terbiasakan mengucapkan yang baik, maka apa yang keluar dari lisan kita sesuatu yang baik dan bermanfaat pula. Begitupun sebaliknya, jika lisan terbiasa mengeluarkan perkataan yang jelek, maka akan banyak mudharat yang timbul akan perkataan tersebut.
Dari penjelasan diatas, sudah sewajibnya kita menjaga lisan kita. Lisan merupakan karunia Allah yang sepantasnya kita gunakan sebaik-baiknya unuk mendorong kepada kebaikan dan menjauhkan keburukan. Mengucapkan ucapan yang baik merupakan sedekah. Rasulullah saw. menyinggung hal ini,
قول معروف صدقة
“Ucapan yang baik adalah sedekah.” (H.R Muslim).
Dengan ini mari membiasakan diri tuk selalu berbuat baik sehingga menjadikan pribadi kita pribadi yang baik, cinta akan kedamaian, menjadikan pribadi yang berpikir sebelum berbicara. Sehingga kita menuntun kita akan kebaikan dan keselamatan akan perbuatan lisan kita. []
Refensi:
– Alqur’an al-Karim
– Santoso Az, Lukman. 2008. Jagalah lisanmu. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
– Imam an-Nawawi. 2005. Hadist Arba’in an-Nawawi terjemah bahasa Indonesia. a|w Publisher.
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.