Oleh: Iis Nawati Aafiya, iis.nawati2301@gmail.com
BAGI siapapun keputusan untuk menikah tidaklah mudah. Bagaimana tidak? pernikahan bukanlah perkara ajang main-main atau sebuah uji nyali siapa yang paling tercepat untuk menikah maka dia paling besar nyalinya tapi pernikahan merupakan sebuah penyempurna agama, begitulah kata teman dalam sebuah status di facebook-nya. Ya begitupun bagiku, memutuskan untuk menikah ditengah kemelutnya mata kuliah PPL (Program Pengalaman Lapangan) dan skripsi bukanlah perkara yang mudah. Apalagi rencana ambisius untuk bisa lulus tepat 4 tahun meleset karena terkendala berbagai kondisi semakin menambah dilemma untuk mengambil keputusan ini.
Dalam tulisan ini, aku tidak hendak bernostalgia ataupun sekedar berbagi kata-kata romantisme. Bagiku pernikahan adalah sebuah hal yang agung dan sakral maka aku berpikir bagaimana mungkin pernikahan yang begitu agung dan sakral ini diawali dengan hal-hal yang justru tidak diridhoi Allah (baca: pacaran).
BACA JUGA: Katanya Ngaji, Kok Pacaran?
Kedatangannya di bulan Februari untuk mengkhitbah bagi sebagian orang (tetangga dekat rumah) merupakan hal yang mengherankan. Bagaimana mungkin seorang anak perempuan yang sama sekali tidak pernah terlihat berjalan bersama dengan laki-laki bahkan untuk sekedar nongkrong di sore hari seperti yang dilakukan pemuda-pemudi yang saling memadu kasih pun tidak pernah dilakukan tapi justru malah perempuan ini yang dilamar duluan. Bahkan teman-teman dekat semasa SMP dan SMA begitu heran ketika mereka menerima undangan pernikahan lewat media sosial dan spontan mereka langsung bertanya, “orang mana?” “teman satu kampus?” “kok bisa memutuskan untuk menikah padahal awalnya tidak kenal sama sekali?”
Aku katakan “ta’aruf tidaklah sama dengan pacaran”. Bagiku dan bagi keluargaku hal itu bukan hal yang mengherankan. Karena aku tidak hendak “membeli kucing dalam karung” yang tidak pernah tahu akan seperti apa kucing itu. Allah tidak pernah dzalim kepada makhlukNya, ketika Allah mensyariatkan untuk menikah, maka Allah bukakan jalan untuk saling mengenal akan seperti apa pasangan kita kelak, seperti apa wataknya, bagaimana pemahamannya terhadap Islam, bagaimana pemahamannya tentang pernikahan dan bagaimana kondisi keluarganya, semua hal ini bisa kita pastikan ketika konsep taaruf berjalan. Jadi tidak ada ceritanya “beli kucing dalam karung”.
“Taaruf tidaklah sama dengan pacaran”. Selama proses taaruf berjalan tentu saja lagi-lagi syariat Islam tetap di kedepankan, tidak ada yang namanya pacaran Islami (mungkin yang dimaksud pacaran Islami itu ketika pacaran dibangun setelah menikah, hehe). Harus tetap menjaga iffah (kehormatan) satu sama lain. Berkomunikasi lewat sosial media cukup hal-hal yang diperlukan dan hal-hal yang ingin kita pastikan tentang dirinya. Tidak ada kata-kata romantisme atau sekadar bertegur sapa “Afwan akhi sudah shalat?” Karena mesti diingat, sekalipun terhadap orang yang sudah mengkhitbah, namun tetaplah dia masih asing, masih jauh dari kata “mahram”.
Lalu bagaimana mungkin bisa memutuskan untuk hidup bersama, padahal sama sekali tidak pernah jalan berdua sekalipun untuk sekedar membeli hal-hal yang diperlukan untuk pernikahan? Sekali lagi “taaruf berbeda dengan pacaran”, tetap saja syariat Islam masih membatasi, bukankah Rasulullah telah melarang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram untuk berdua-duan? Karena yang akan menjadi ketiganya adalah syetan.
Lalu bagaimana ternyata ketika setelah menikah, kita baru tahu sifat aslinya? Yang itu memang akan menjadi cerita tersendiri bagi orang-orang yang menikah tanpa proses pacaran. Ada banyak hal-hal yang tidak terduga yang mungkin tidak terungkap ketika proses taaruf misalnya setelah menikah ternyata ada perbedaan karakter yang menjulang tinggi. Tapi bukankah itu akan menjadi story yang indah, menemukan hal-hal yang baru yang tidak pernah kita duga sebelumnya, belajar memahami satu sama lain. Jika sejak awal (proses taaruf) harapan digantungkan pada pasangan kita kelak “ingin seperti ini” “ingin seperti itu” dan ternyata setelah menikah sangat jauh dari bayangan semasa taaruf maka yang timbul adalah kekecewaan tapi jika sejak awal harapan digantungkan kepada Allah dengan yakin akan firmanNya bahwa jodoh adalah cerminan diri kita maka kekurangan pasangan cukup menjadi pelengkap kehidupan rumah tangga dan bahu membahu untuk saling memperbaiki.
Kalau seperti itu, berarti kisah taaruf akan terasa hambar? Tidak ada kata-kata romantisme, tidak ada tegur sapa, tidak ada jalan berdua atau sekedar buka bareng (kalau taarufan pas lagi bulan Ramadhan). Taaruf bukan legalitas seseorang yang tidak ingin pacaran tapi punya rasa “ingin memiliki” sehingga ia melakukannya hampir mirip dengan pacaran. Namun taaruf adalah proses untuk mengenal sejauh apa dia mengenal Tuhan kita, sejauh apa dia membangun rasa suka dan bencinya karena Allah swt. Sedangkan romantisme, rasa suka dan keindahan biarkanlah bersemi pada saatnya kelak melalui keberkahan dan ridho dari Allah swt. Ya biarkan semua bersemi pada saatnya. []