SAYA tak mungkin lupa malam itu ketika pertama kali membaca Lupus. Bada Maghrib. Hujan di luar. Abah di samping saya tiduran menunggu Isya.
Saya membuka Majalah HAI dengan perasaan suka cita; saat itu, saya baru tahu ada Hai, pinjeman dari (kebetulan namanya) Hilman, teman masa kecil, putra pertama Ustadz Abun.
Di halaman pertengahan, saya menemukan Lupus. Judulnya: Tangkaplah Daku Kau Kujitak. Saya membacanya mungkin lebih dari 5 kali malam itu, saking terpesonanya, saking langsung nge-fans.
Mulai pekan itu, saya yang baru kelas 5 SD, setiap Ahad pagi jalan kaki dari Simpang ke Pasar Jumat pulang pergi untuk membeli Hai bekas. Saya rela ngumpulin receh untuk bisa baca Hai. Atau tepatnya baca Lupus.
Saat SMP dan SMA, sobat sekelas berambut kribo, setiap semester liburan selalu ke Bandung dan pulangnya selalu aja bawa Lupus. Atau Olga. Saya jadi orang kedua setelah dia yang bacanya. Selalu.
Lupus, bagi saya seperti titik mula. Sejak malam membaca Lupus itu, tidak ada lagi yang lebih saya inginkan selain jadi penulis seumur hidup saya. Lupus, memberi jalan pada seorang anak kecil miskin di kota kecil. Saya banyak belajar menulis dari Lupus.
BACA JUGA:Â Â Si Doel Anak Sekolahan
Saya belum pernah ketemu penulis Lupus, Mas Hilman. Ia dipanggil kemarin menghadap Allah SWT.
Namun, mungkin tanpa ia sadar, ia berpulang dengan meninggalkan jalan bagi banyak anak kecil di akhir 90-an sebuah kehidupan.
Saya salah satunya. Saya bukan penulis terkenal dan kaya banget secara harta. Tapi, saya, 44 tahun, seorang ayah 3 anak, alhamdulillah berkesempatan kesana kemari, karena menulis, terinspirasi oleh Lupus.
Mas Hilman, membuka jalan.
Demikianlah, ketika kau pulang, apa yang kau bawa.
Semoga Allah SWT tempatkan engkau di sisi-Nya yang baik. Aamiin. []
BACA JUGA:Â Â Pep dan Zlatan Ibrahimovic