Akhi, sungguh aku malu dan cemburu padamu. Di sana kau pertaruhkan nyawa demi menjaga kesucian al-Aqsa, sedang di sini aku hanya bisa menangis dan menyesali ketidakmampuan. Aku mudah menyatakan lelah, lalu tidur di atas kasur empuk dan selimut tebal yang menghangatkan.
Aku belum bisa berbuat apa-apa, selain hanya berwacana dan memposting ucapan simpati di media sosial, sembari berharap pujian dari netizen. Setelah itu Aku sibuk lagi dengan rutinitas berimajinasi tanpa aksi. Menjadi manusia utopis, yang hanya mampu berbusa-busa di ruang rapat, namun kembali bungkam di medan juang.
Akhi, nyatanya aku hanya berkhayal, membayangkan perjuangan tanpa mau berkorban. Membayangkan yang hanya dibayangkan. Memimpikan yang hanya diimpikan. Menangisi yang hanya ditangisi.
Akhi, maafkan aku yang hanya mengingatmu saat media bersuara. Hanya mengingatmu saat poster tentangmu berseliweran di media sosial. Selebihnya, aku kembali lalai mendoakanmu. Astaghfirullah.. padahal di sana kau selalu menyebut nama orang Indonesia dalam doamu. Dan mungkin itu aku.
Akhi, nyatanya aku selalu putus asa jika membincang masa depan bangsamu. Aku selalu pesimis mampu menjadi bagian dari pembebasan al-Aqsa. Orang-orang selalu mengatakan bahwa Palestina bukan urusan kita. Mereka selalu mempertanyakan, dengan cara apa aku membebaskan Palestina. Mana mungkin bisa kalahkan Israel? Itulah yang akhirnya membuatku kembali terdiam.
Akhi, nyatanya untuk pergi shalat shubuh berjamaah saja, aku masih merasa berat. Hingga sering aku melupakan keutamaan yang terdapat padanya. Sehingga aku sadar, jika teriakanku tentang kemerdekaanmu hanyalah pepesan kosong. Maafkan aku. []