Oleh: M. Anwar Djaelani
Aktivis MIUMI Tinggal di Malang
Alhamdulillah, kita bersama Ramadhan lagi. Di Ramadhan, kita diwajibkan berpuasa. Jika berpuasa sesuai sunnah Rasulullah SAW, maka banyak hikmah yang bisa kita raih.
Indah, Alhamdulillah!
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah [2]: 183).
Terkait ini, sesungguhnya, ibadah puasa Ramadhan dapat diibaratkan sebagai sebuah sekolah. Sebab, ibadah puasa Ramadhan yang kita kerjakan itu berfungsi sebagai media pendidikan dan pelatihan terbaik untuk mendidik jiwa, menyucikan hati, dan menjaga anggota badan. Puasa yang dikerjakan berdasar iman dan semata-mata mengharap ridha Allah akan menjadikan manusia bertakwa.
Sebagai sebuah “sekolah”, puasa Ramadhan punya “kurikulum”. Mari kita perhatikan! Pertama, bagaimana cara perut berpuasa? Makanan yang halal atau yang haram sama-sama memiliki dampak bagi kehidupan dan akhlak seseorang.
“Hai Rasul-Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih,” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 51).
Terlihat, mengonsumsi makanan yang baik-baik menjadi prasyarat sebelum beramal shalih dan itu bagian dari manifestasi rasa syukur kita kepada Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah,” (QS Al-Baqarah [2]: 172).
Puasa Ramadhan mengharuskan perut menahan diri untuk tak makan (sekalipun itu halal dan apalagi yang haram). Kelak, di luar Ramadhan, kita akan terlatih untuk tak memakan yang haram.
Kedua, bagaimana cara hati berpuasa? Hati orang beriman adalah hati yang berpuasa pada bulan Ramadhan dan di bulan lainnya. Puasa hati adalah dengan menjauhkan hati dari hal-hal yang merusaknya seperti syirik, keyakinan yang sesat, penyakit waswas, dan sifat-sifat tercela lainnya. Misal, hati orang beriman berpuasa dari sifat sombong. Tidaklah mungkin kesombongan ada dalam hati orang beriman, karena itu perkara yang diharamkan.
Hati harus kita ajak berpuasa, sebab hati itu memiliki peran vital bagi kehidupan manusia. “Dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Namun, jika itu rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Camkan, itulah hati!” (HR. Bukhari-Muslim).
Oleh karena itu, di samping merawat hati dengan berpuasa, Rasulullah SAW juga mencontohkan untuk selalu berdoa, “Wahai Dzat yang dapat membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami atas agama-Mu”.
Ketiga, bagaimana cara mata berpuasa? Mata itu pelaksana keinginan hati dan pintu jiwa manusia. Oleh karena itu, mata kita didik untuk hanya digunakan di jalan-Nya. Dengan demikian, puasa mata berupa menahan pandangan dari hal-hal yang dilarang Allah.
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandanganya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha-Mengetahui apa yang mereka perbuat’. Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya’.” (QS An-Nuur [24]: 30-31). Kapanpun, saat berpuasa atau tidak, “Jagalah pandangan mata“ (HR Bukhari-Muslim).
Keempat, bagaimana cara telinga berpuasa? Telinga orang yang berpuasa hanya akan mendengarkan hal-hal yang baik saja, agar dia selalu dapat mengingat-Nya.
“Dan, apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: ‘Yaa Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur’an dan kenabian Muhammad SAW)’.” (QS Al-Maa’idah [5]: 83).
Sementara, hal yang sudah jelas, kelak “Pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung-jawabannya” (QS Israa’ [17]: 36).
Kelima, bagaimana cara lisan berpuasa? Lisan adalah jalan menuju kebaikan. Tetapi –jika tak hati-hati-, lisan adalah jalan ke keburukan. Oleh karena itu, mengajak lisan berpuasa adalah amal yang istimewa. Caranya, ucapkanlah yang baik-baik saja dan sekali-kali jangan ucapkan hal yang tak bermakna dan terlebih lagi yang bersifat maksiat. Lebih baik diam ketimbang berbicara tapi mengundang ketergelinciran diri.
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS Qaaf [50]: 18). “Seseorang dikatakan Muslim jika dapat membuat Muslim lainnya merasa aman dari lisan dan tangannya,” (HR. Bukhari-Muslim).
Kecuali itu, ada beberapa sikap yang harus dijaga di saat Ramadhan. Hal yang paling utama, rawat niat berpuasa Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Pelihara sikap ikhlas, semata-mata untuk mengharap ridha Allah. Lalu, berpuasalah sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Misal, akhirkan saat bersahur dan segerakan kala berbuka. Perbanyak dzikir, doa, dan istiqomah memelihara shalat tarawih.
Bekal Itu
Jika seluruh “kurikulum” Madrasah Ramadhan sudah kita lalui dengan baik, maka patut kiranya kita bersiap-siap untuk diwisuda di Hari Raya Idul Fitri sebagai insan paling mulia, yaitu manusia bertakwa.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu,” (QS Al-Hujuraat [49]: 13).
Alhasil, jika takwa telah menjadi keseharian kita, maka sungguh hal itu akan menjadi jaminan bagi keselamatan dan kebahagiaan kita di dunia dan akhirat. “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa,” (QS Al-Baqarah [2]: 197). []