LAHIRNYA otonomi daerah pasca reformasi seolah memberikan angin surga bagi pemerintah daerah. Dengan otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan sangat luas untuk mengeolola daerahnya. Namun tidak semua urusan pemerintahan diotonomikan.
Seperti dijelaskan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pada Pasal 7 ayat (1) dikemukakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, fiskal/moneter, dan agama, serta kewenangan lain yang diatur secara khusus.
Selain itu, semuanya menjadi kewenangan daerah, termasuk salah satunya bidang pendidikan.
Madrasah—khususnya madrasah ibdtidaiyah (MI), setara dengan SD, Madrasah Tsanawiyah (MTs) setara dengan SMP, dan Madrasah Aliyah (MA) setara dengan SMA/SMK—adalah lembaga pendidikan di bawah Kementrian Agama yang tidak diotonomikan, seolah-olah tidak ikut berurusan tetapi kebagian dampak dari kebijakan ini. Kondisi madrasah saat ini secara umum masih belum menggembirakan, walaupun sudah banyak madrasah yang baik, akan tetapi tidak sebanyak sekolah yang dikelola oleh pemerintah.
Ini karena secara statistik sebagian besar madrasah dikelola oleh yayasan atau swasta yang terbatas pendanaannya. Sementara sebagian besar sekolah di kelola oleh pemerintah atau negeri yang semua kebutuhannya dijamin oleh negara. Ditambah dengan persoalan otonomi daerah, seolah sudah jatuh tertimpah tangga. Dengan distorsi pemahaman undang-undang tentang otonomi daerah ini, permasalahan ini makin menambah keterpurukan madrasah dari upaya mengejar ketertinggalannya dengan sekolah.
Fenomena yang muncul di masyarakat seolah ada standar ganda mengenai kebijakan pemerintah daerah sebagai perpanjangan pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan. Ketika ada kebijakan, pemerintah daerah hanya berdampak pada lembaga pendidikan sekolah di bawah kementrian pendidikan saja. Misalnya bantuan sarana prasarana, bantuan pelatihan, atau ada tunjangan hari raya hanya untuk guru-guru di bawah kementiran pendidikan saja, sementara untuk madrasah tidak ada.
Dalam hal ini pemerintah daerah nampak dilematis menangkap persoalan pendidikan di madrasah. Secara yuridis formal nampak jelas bahwa madrasah adalah lemabaga pendidikan formal yang tanggungjawab pengelolaannya ada di bawah kementrian agama yang tidak diotonomikan.
Sementara secara defacto pengelolaan pendidikan formal madrasah berada di daerah yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan sekolah formal di bawah kemendiknas. Maka ketika ada kebijakan pemerintah daerah dalam hal pendidikan yang bersifat lokal sesuai dengan kewenangannya menurut undang-undang otonomi daerah, akan memberikan kesan bahwa pemerintah daerah tidak memperhatikan lembaga pendidikan madrasah.
Hal ini berdampak buruk pada persepsi para pengelola termasuk guru madrasah di lapangan dan menganggap bahwa pemerintah daerah tidak memiliki kepedulian yang tulus dan serius terhadap madrasah. Situasi ini yang memperburuk keadaan madrasah yang secara eksternal belum memiliki kepercayaan penuh dari masyarakat dan secara internal masih berkutat pada kebijakan-kebijakan yang ambigu.
Solusinya adalah, adanya political will dari pemerintah daerah untuk melakukan terobosan hukum, agar pemerintah daerah bisa memberikan kontribusinya terhadap kemajuan madrasah. Karena pada hakikatnya kemajuan madrasah di sebuah daerah tentu berefek positif terhadap kemajuan daerah itu sendiri. Pemerintah daerah tidak akan merasa “rugi” memberikan bantuan kepada madrasah di suatu daerah. Karena pada dasarnya madrasah adalah lembaga pendidikan yang sama-sama berjuang mencerdaskan masyarakat—paling tidak untuk daerah tersebut. Wallohu a’lam. []