BEBERAPA tahun kemarin, saya pernah diundang oleh sebagian ‘ikhwan’ -begitu mereka diistilahkan- untuk khutbah hari raya Idul Fitri di suatu daerah. Saat sedang khutbah, saya agak merasa heran, karena panitia berjalan diantara shoff jama’ah sambil membawa kain sarung yang dibentangkan. Ternyata, kain sarung itu untuk tempat infaq dari jama’ah. Perasaan aneh pun saya pendam sampai selesai khutbah.
Setelah selesai, saya iseng bertanya kepada sebagian mereka. “Kenapa tidak pakai kotak infaq dari kayu saja?”, demikian saya membuka pertanyaan. “Biar sesuai sunnah ustadz. Terlebih kotak infaq kan bid’ah.” Mereka mengaku, bahwa paham itu didapatkan dari beberapa ustadz (maaf, nama-namanya kami sensor).
BACA JUGA: Bolehkah Bermadzhab?
Perhatikan kisah di atas pembaca! Sebenarnya saya tidak mempermasalahkan mereka memakai kain sarung untuk menaruh infaq jama’ah. Silahkan itu sah-sah saja. Namun yang jadi masalah, jika hal itu diyakini sebagai sunnah dan memakai kotak infaq sebagai bid’ah.
Sunnah dan bid’ah itu perkara yang berlaku pada ranah ibadah. Sedangkan kain sarung dan kotak infaq itu ranahnya masalah duniawi. Kain sarung itu hanya masalah wasilah (perantara) sebagai alat untuk menaruh infaq. Dan ada suatu kaidah yang berbunyi:
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يرد دليل على تحريمها
“Asal segala sesuatu (yang bersifat duniawi) adalah boleh, sampai ada dalil yang mengharamkannya.”
Dan masalah wasilah itu akan mengalami tajaddud تجدد (perkembangan) dari masa ke masa. Kalau dulu pakai kain, sekarang pakai kotak infaq. Dalam masalah seperti ini, tidak harus sama persis yang dilakukan atau dipakai di zaman nabi.
Saya jadi ingat madzhab dzohiri dalam masalah hukum mengencingi air yang tergenang. Hal ini telah dilarang oleh Nabi -shollallahu alaihi wa salam- dalam sabdanya:
لا يبولن أحدكم في الماء الدائم
“Janganlah salah satu diantara kalian kencing di air yang tergenang.”
Menurut mereka (madzhab dzohiri), yang dilarang itu kalau mengencingi air tersebut secara langsung (sesuai teks hadits). Tapi jika seorang kencing kemudian diwadahi botol dulu baru kemudian dituangkan ke air yang tergenang, maka boleh. Keduanya mirip dari sisi penetapan hukum dilandaskan secara ‘saklek’ (harus sama persis) tanpa melihat jenis perkara, ilat hukum, serta indikasi-indikasi lain.
Pemahaman keliru seperti ini (bahwa perkara wasilahpun harus sesuai/sama persis dengan zaman nabi atau yang dipakai nabi), akan melahirkan berbagai turunan hukum yang rusak dan ‘nyleneh’, seperti:
BACA JUGA: Ternyata, Penyusun Madzhab Hanbali adalah Murid Imam Syafii
> Pengeras suara bid’ad, karena tidak dipakai di zaman nabi. Yang ada, di zaman itu memakai “muballigh” (penyampai suara berupa orang).
> Masjid dengan lantai tanah sunnah sebagaimana masjid nabi. Sedangkan jk dikeramik, termasuk bid’ah.
> Menakar kadar zakat fitrah yang sunnah pakai cakupan dua tangan. Kalau pakai timbangan kilogram bid’ah.
>Menutup kepala pakai sorban sunnah. Kalau pakai peci hitam bid’ah.
> Dll. (Silahkan tambah sendiri ).
Hikmah uraian di atas:
1. Mari bersemangat untuk belajar ilmu-ilmu alat. Karena hal ini akan menjadi pondasi ilmu ghoyah yang akan kita pelajari. Seperti ushul fiqh, ushul hadits, ushul tafsir, dll.
2. Orang yang cerdas adalah seorang yang mampu membedakan dua hal yang berbeda walaupun sekilas mirip. Dan menyamakan dua hal yang sama walaupun sekilas berbeda.
3. Terkadang, seorang yang berniat baik belum tentu mendapatkannya. []
Facebook: Abdullah Al Jirani