ABU Thalhah tahu bahwa wanita bernama Ummu Sulaim hidup menjanda sejak suaminya meninggal. Abu Thalhah sangat gembira mengetahui Ummu Sulaim adalah wanita baik-baik, cerdas, dan memiliki sifat-sifat kewanitaan yang sempurna.
Abu Thalhah bertekad hendak melamar Ummu Sulaim segera, sebelum pria lain mendahuluinya. Di kalangan Bani Najjar, Abu Thalhah dikenal sebagai laki-laki sempurna, mempunyai kedudukan yang tinggi, kaya-raya, dan ia pun pandai menunggang kuda, selain juga sebagai seorang pemanah jitu dari Yastrib yang perlu diperhitungkan.
Abu Thalhah pergi ke rumah Ummu Sulaim. Setiba di sana, dia minta izin masuk. Putera Ummu Sulaim hadir dalam pertemuan itu. Abu Thalhah menyampaikan maksud kedatangannya melamar Ummu Sulaim menjadi istrinya. Tidak disangka-sangka, Ummu Sulaim menolak lamaran Abu Thalhah.
Mendengar jawaban Ummu Sulaim, Abu Thalhah tertegun. Apakah yang menyebabkan lamarannya ditolak? Seperti tahu apa yang tengah bermain di benak Abu Thalhah, Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya lelaki seperti engkau tidak pantas aku tolak lamarannya. Tetapi aku tidak akan menikah dengan engkau, karena engkau kafir….”
Abu Thalhah mengira, Ummu Sulaim hanya sekadar mencari-cari alasan saja. Mungkinkah sudah ada yang mendahuluinya laki-laki lain yang lebih kaya dan mulia daripadanya?
Suasana terdiam. Dan sunyi. Ummu Sulaim melanjutkan bicaranya, “Aku rela engkau jadi suamiku, asalkan engkau masuk Islam…”
Mendengar itu Abu Thalhah kembali terdiam lama. Ia berpikir. Wanita di hadapannya meminta sesuatu yang cukup sulit. Tapi kemudian ia berbicara, “Jika aku masuk ke dalam agamamu—Islam, bagaimanakah caranya? Adakah itu sulit?”
Ummu Sulaim menghela nafas, “Mudah. Engkau hanya tinggal mengucapkan dua kalimah syahadat. Akui tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad Rasul Allah. Cukuplah itu menjadi mahar bagiku. Sesudah itu pulanglah ke rumahmu, hancurkan berhala sembahanmu, lalu buang…”
Abu Thalhah tampak gembira. Ternyata Ummu Sulaim tidak main-main. Akhirnya jadilah Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar ia masuk Islam. Kaum muslimin berkata, “Belum pernah kami mendengar mahar yang lebih mahal daripada mahar Ummu Sulaim. Maharnya ialah masuk Islam.”
Setelah menikah, banyak perubahan yang terjadi pada Abu Thalhah. Ia menemukan ternyata Islam sangat agung dan mulia. Sejak itu, ia berada di barisan paling depan yang berjuang bersama Rasulullah.
Abu Thalhah menyadari, dengan banyaknya pengorbanan dakwah untuk Islam, itu tidak akan pernah berhasil seandainya ia tidak mendidik keluarganya untuk memahaminya. Beruntung ia beristrikan Ummu Sulaim yang telah mendapat tarbiyah langsung dari Rasulullah.
Maka ketika anak-anaknya mulai besar, ia sama sekali tidak melupakan perhatian kepada mereka. Di sisi lain, sedikit demi sedikit Abu Thahlhah sendiri mampu membimbing istrinya tercinta. Satu yang paling ditekankan kepada anak dan istrinya, suatu waktu dakwah akan meminta mereka banyak hal.
Semenjak Abu Thalhah masuk Islam bukan satu dua kali ia ikut kaum muslimin berperang. Ketika ia memasuki usia senja, ia pun masih bergabung dengan pasukan kaum muslimin. Ketuaannya sama sekali tidak menghalanginya untuk berjihad di jalan Allah dan untuk melakukan perjalanan jauh demi menegakkan kalimat Allah.
Di zaman khalifah Utsman bin Affan, kaum muslimin harus berperang di lautan. Abu Thalhah bersiap-siap untuk turut dalam peperangan itu bersama-sama dengan tentara muslimin.
Karena ketuaannya, anak-anaknya sangat mengkhawatirkannya. “Wahai bapak kami, engkau sudah tua. Engkau sudah turut berperang bersama-sama dengan Rasulullah, bersama Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Sebaiknyalah engkau beristirahat sekarang. Biarlah kami saja yang sekarang maju ke medan perang.”
Mendengar jawaban anak-anaknya, Abu Thalhah sangat terharu. Dalam usia semuda itu mereka siap untuk mengorbankan nyawanya untuk Islam. Ia tersenyum. Inilah hasil didikan dan dakwah terhadap keluarganya.
“Anakku-anakku,” ujar Abu Thalhah, “aku beryukur kalian telah mengerti kewajiban berdakwah ini. Tapi bukankah Allah telah mengatakan kepada kita untuk berjihad, baik dalam keadaan susah dan senang, dengan harta dan diri kita?”
Mendengar jawaban itu, anak-anak Abu Thalhah terdiam. Mereka tahu jika ayahnya sudah berbicara kepentingan dakwah, maka tidak ada yang bisa dibantahnya lagi. Maka anak ayah itu segera menggabungkan diri dengan pasukan kaum muslimin. Berpuluh tahun mereka dididik oleh ayahnya tentang bagaimana dakwah, hingga mereka tidak lagi merasa takut dan gamang dengan apapun yang terjadi. []