MAHKAMAH Agung (MA) melansir putusan kasasi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo. Dalam putusan, MA kemudian menjelaskan mengapa vonis Edhy disunat dari 9 tahun penjara menjadi 5 tahun penjara.
Putusan terhadap Edhy Prabowo itu diketok oleh Sofyan Sitompul dan Gazalba Saleh, sedangkan Sinintha Sibarani menolak menyunat hukuman Edhy. Sofyan Sitompul kini sudah pensiun. Sedangkan Gazalba Saleh ditangkap KPK karena dugaan menerima suap untuk memenangkan pihak beperkara di kasus Intidana.
Alasan Sofyan Sitompul dan Gazalba Saleh menyunat hukuman Edhy beragam, di antaranya Edhy sudah baik dalam memimpin KKP hingga dermawan menolong nelayan dan tim sukses. Berikut pertimbangan lengkap Sofyan Sitompul dan Gazalba Saleh dalam putusan yang dikutip detikcom, Selasa (14/2/2023):
BACA JUGA:Â Tanggapi Skor Indeks Korupsi yang Anjlok, KPK: Negara Lain Tidak Terlalu Ramai
Bahwa Terdakwa justru mengikuti dengan baik tatanan kerja dan prosedur yang berlaku di kantornya/kementeriannya dimana Terdakwa tidak bertindak otoriter dan sewenang-wenang dalam proses persetujuan pemberian izin Pengelolaan dan Budidaya Lobster (PBL) dan izin ekspor Bening Benih Losbter (BBL) Terdakwa melalui stafnya meminta agar perusahaan yang ingin mengajukan izin PBL harus memenuhi berbagai persyaratan, harus ada proposal/ Business Plan dan presentasi via video conference, melakukan wawancara dan me-review kelayakan usaha calon eksportir BBL dan memberikan rekomendasi proposal usaha yang memenuhi persyaratan untuk melakukan usaha PBL, Dalam pemberian izin usaha PBL dan izin ekspor BBL, Terdakwa memfungsikan Dirjen dengan baik.
Hal ini sesuai dengan keterangan saksi Slamet Soebjakto selaku Dirjen Perikanan Budidaya dan M. Zulficar Mochtar selaku Dirjen Perikanan Tangkap yang menyatakan bahwa:
tugas dari Menteri dibagi habis mulai dari Menteri kepada Eselon I sesuai dengan bagiannya masing-masing dan selanjutnya tugas eselon I (dirjen) dibagi ke bawahan saksi.
Dengan demikian setiap perusahaan yang akan melakukan usaha PBL dan ekspor BBL harus melalui persetujuan Dirjen. Untuk usaha PBL izin dibuat dan ditandatangani oleh Dirjen Perikanan Budidaya dan untuk izin ekspor BBL dibuat dan ditandatangani oleh Dirjen Perikanan Tangkap. Jadi, Terdakwa telah mendistribusikan kewenangan dengan baik di kantornya. Kesalahan Terdakwa melalui stafnya hanyalah meminta Dirjennya agar mengeluarkan izin untuk perusahaan tertentu. Namun permintaan ini adalah hal yang sewajarnya karena perusahaan- perusahaan tersebut telah memenuhi persyaratan untuk melakukan usaha PBL dan ekspor BBL.
Terdakwa selalu berusaha untuk membantu masyarakat khususnya konstituennya dan tim suksesnya dengan memberikan bantuan keuangan.
Sofyan Sitompul-Gazalba Saleh
Bahwa Terdakwa tidak menabrak aturan, tatanan prosedur yang ada di kementeriannya sendiri. Berkaitan dengan pemberian izin Pengelolaan dan Budidaya Lobster (PBL) dan izin ekspor Bening Benih Losbter (BBL) kepada beberapa perusahaan maka Terdakwa tidak melanggar Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor: 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp) dan Rajungan (Portunus spp) dari Wilayah Negara Republik Indonesia, namun Terdakwa mencabut Peraturan tersebut dan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (Permen KP-RI) Nomor: 12/PERMEN-KP/2020 tanggal 4 Mei 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp) dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia. Perbuatan Terdakwa ini sah karena dibuat oleh Terdakwa selaku Menteri Kelautan dan Perikanan dan merupakan kebijakan Terdakwa yang didasarkan pada semangat memanfaatkan benih lobster untuk kesejahteraan masyarakat yaitu ingin memberdayakan nelayan mengingat potensi budidaya lobster di Indonesia sangatlah besar. Di samping itu untuk membasmi penyelundup-penyelundup gelap ekspor BBL yang menyebabkan negara tidak menerima pemasukan pajak ekspor. Untuk memberantas penyelundupan dan agar negara memperoleh pendapat pajak dari ekspor BBL, maka Terdakwa pun membuka kran perizinan PBL dan BBL Lobster, Kepiting dan Rajungan. Selanjutnya sebagai bukti bahwa Terdakwa tidak menabrak prosedur atau aturan di kantornya maka untuk menindaklanjuti kebijakan Terdakwa pasca diterbitkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (Permen KP-RI) Nomor : 12/PERMEN-KP/2020 ini dibuatlah beberapa Petunjuk Teknis (Juknis), diantaranya Keputusan Dirjen Perikanan Budidaya No. 178/KEP-DJPB/2020 tentang Pengelolaan Usaha Pembudidayaan lobster dan kepiting tertanggal 12 Mei 2020. Disamping itu Terdakwa menerbitkan pula Kepmen KKP No. 53/KEPMEN KP/2020 tertanggal 14 Mei 2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) yang diketuai oleh dan saksi Safri sebagai Wakil Ketua. Tujuan dibuatkannya tim ini untuk mempermudah perizinan. Tim ini tugasnya sangat strategis karena menentukan apakah perusahaan layak diberi izin atau tidak.
Kesalahan Terdakwa hanya dalam menentukan komposisi Tim Uji Tuntas (Due Diligence) di mana telah menunjuk orang-orang dekatnya untuk duduk dalam Tim Uji Tuntas, yakni saksi Andreau Misanta Pribadi (staf khusus Terdakwa) sebagai Ketua Tim dan saksi Safri yang juga merupakan staf khusus Terdakwa diangkat sebagai Wakil Ketua Tim.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka pidana pokok yang dijatuhkan judex facti Pengadilan Tinggi kepada Terdakwa perlu diperbaiki sebagaimana disebutkan dalam amar putusan;
Bahwa judex facti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah menguatkan putusan judex facti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang penjatuhan pidana tambahan terhadap Terdakwa berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 (tiga) tahun sejak Terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya.
Judex facti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak memberikan pertimbangan mengapa Terdakwa harus dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih jabatan publik selama 3 (tiga) tahun tetapi hanya mengambil alih pertimbangan dari judex facti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Adapun pertimbangan judex facti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sehingga menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak politik Terdakwa selama 3 (tiga) tahun adalah:
1. Bahwa mengingat jabatan Terdakwa EDHY PRABOWO selaku Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang merupakan jabatan publik yang berawal dari terpilihnya Terdakwa EDHY PRABOWO menjadi anggota DPR RI yang dipilih oleh rakyat, maka sudah barang tentu warga masyarakat menaruh harapan yang besar kepada Terdakwa EDHY PRABOWO selaku Menteri Kelautan dan Perikanan RI yang merupakan Penyelenggara Negara untuk dapat berperan aktif melaksanakan tugas kewajibannya dengan memberikan teladan yang baik dengan tidak melakukan KKN
2. Bahwa yang terjadi justru sebaliknya, Terdakwa mencederai amanat yang diembannya tersebut dengan melakukan tindak pidana korupsi, sehingga perbuatan ini bukan saja tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi namun juga telah mencederai amanat yang diembannya selaku Menteri Kelautan dan Perikanan RI.
Pertimbangan-pertimbangan judex facti tersebut tidak sepenuhnya beralasan karena pada faktanya Terdakwa sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan RI sudah bekerja dengan baik dan telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat khususnya bagi nelayan.
Adapun salah satu tujuan Terdakwa selaku Menteri Kelautan dan Perikanan RI mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 56 Tahun 2016 tanggal 23 Desember 2016 dan menggantinya dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (Permen KP-RI) Nomor : 12/PERMEN KP/2020 yaitu adanya semangat untuk memanfaatkan benih bening lobster untuk kesejahteraan masyarakat, yaitu ingin memberdayakan nelayan dan juga untuk dibudidayakan karena lobster di Indonesia sangat besar. Lebih lanjut dalam Permen Nomor 12 tersebut eksportir disyaratkan untuk memperoleh BBL dari nelayan kecil penangkap BBL.
Jadi, tampak bahwa Terdakwa selaku Menteri Kelautan dan Perikanan ingin menyejahterakan masyarakat khususnya nelayan kecil. Selanjutnya Terdakwa selalu berusaha untuk membantu masyarakat khususnya konstituennya dan tim suksesnya dengan memberikan bantuan keuangan.
Berikut jungkat-jungkit putusan Edhy Prabowo:
PN Jakpus menjatuhkan hukuman:
1. Pidana penjara 5 tahun dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan.
2. Menghukum terdakwa membayar uang pengganti Rp 9,6 miliar dan USD 77 ribu. Bila tidak maka dipidana penjara selama 2 tahun.
3. Mencabut hak politik selama 3 tahun.
Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta:
1. Pidana penjara selama 9 tahun dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan.
2. Menghukum terdakwa membayar uang pengganti Rp 9,6 miliar dan USD 77 ribu. Bila tidak maka dipidana penjara selama 3 tahun.
3. Mencabut hak politik selama 3 tahun.
MA menyunat hukuman pidana menjadi:
1. Pidana penjara 5 tahun dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan.
2. Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa tersebut berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 2 tahun terhitung sejak terdakwa menyelesaikan/menjalani pidana pokok.
BACA JUGA:Â Skandal Penegak Hukum: 2 Hakim Agung Terjerat Korupsi, 9 Hakim Konstitusi Dipolisikan
Atas putusan janggal itu, KPK akan mempelajarinya.
“Kami akan cek dan pelajari lebih dahulu bila salinan putusan lengkapnya telah diterima,” ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri ketika dimintai konfirmasi, Senin (13/2/2023).
MA mendukung dan menghormati jika KPK mengusut soal adanya dugaan suap pada pemotongan vonis Edhy tersebut.
“Kalau proses hukum yang dilakukan KPK, MA menghormati sepanjang masih menjunjung asas praduga tidak bersalah,” kata juru bicara MA, Suharto, kepada wartawan, Senin (13/2/2023).
Suharto menegaskan MA sebenarnya tidak pernah menggunakan istilah ‘sunat’, melainkan menggunakan ‘memperbaiki’.
“Sekali lagi, MA tidak menggunakan istilah ‘sunat’ atau pemotongan vonis itu tetapi yang digunakan adalah ‘memperbaiki’,” katanya. []
SUMBER: DETIK