MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan advokat Yasin Djamaluddin yang meminta agar kewenangan jaksa menyidik kasus korupsi dihapus. Malah MAKI meminta kejaksaan diluaskan kewenangannya yaitu bisa menyidik kasus kolusi dan nepotisme.
“Bahwa pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan jika dirasa belum sempurna maka semestinya dilakukan pengawasan dan kontrol sebagaimana telah dilakukan MAKI dalam bentuk gugatan Praperadilan,” kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman kepada wartawan, Kamis (11/5/2023).
Sebagai langkah konkret, MK akan mengajukan surat ke MK sebagai pihak terkait dalam perkara tersebut. MAKI meminta MK malah menguatkan peran kejaksaan dalam penyidikan kasus korupsi, termasuk menyidik kasus kolusi dan nepotisme.
BACA JUGA:Â Jokowi Sampaikan Pentingnya UU Perampasan Aset untuk Proses Tindak Pidana Korupsi
“Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Nomor 16 tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang termasuk tindak pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme’,” ujar Boyamin.
Meski demikian, MAKI menghormati uji materi sebagai bentuk aspirasi warga negara atas sistem bernegara hukum dan demokrasi. Tapi MAKI memilih berseberangan dengan asin Djamaluddin karena bagian dari kebebasan berpendapat dan bersikap yang juga dijamin konstitusi.
“Uji materi ini bukanlah uji materi pertama. Sebelumnya sudah dilakukan uji materi serupa sebanyak tiga kali. Namun, Mahkamah Konstitusi tetap menganggap langkah Kejaksaan dalam melakukan penyidikan di bidang Tipikor tidak bermasalah,” pungkas Boyamin.
Apa alasan Yasin meminta kejaksaan tidak berwenang mengusut kasus korupsi?
Dalam berkas permohonannya, Yasin membeberkan sejumlah alasan. Pertama, kewenangan jaksa masuk ke ranah penyelidikan dan penyidikan dinilai melanggar KUHAP. Sebab, pengaturan pembagian tugas penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian dan Prapenuntutan maupun penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum telah menciptakan kepastian hukum terkait dengan pembagian kewenangan, sehingga tercipta check and balance dalam proses penyidikan/Prapenuntutan.
“Dalam hukum acara pidana dalam tahapan Pra Ajudikasi atau pra penuntutan jaksa melakukan the screening prosecutor atau memeriksa hasil penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian berupa BAP, apabila menurut Jaksa/penuntut umum dirasa penyidikan yang dilakukan kurang lengkap maka Kejaksaan kepolisian untuk menyempurnakan penyidikannya,” beber Yasin.
Alasan kedua, dengan diberikannya kewenangan penyidikan dalam tindak pidana tertentu menyebabkan Kejaksaan menjadi superpower mengingat bahwa Kejaksaan memiliki kewengan lebih selain melakuan Penuntutan jaksa juga bisa sekaligus melakukan Penyidikan. Pemberian wewenang jaksa sebagai penyidik telah membuat Jaksa dapat sewenangan-wenang dalam melakukan proses penyidikan. Karena Prapenuntutan/control penyidikan atas penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa dilakukan oleh Jaksa juga, sehingga tidak ada control penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa dari lembaga lain.
BACA JUGA:Â Bupati Meranti Diduga Korupsi untuk Biaya Maju Pilgub, PKS: Biaya Politik Besar Mesti Dihentikan
“Karena tidak ada fungsi kontrol tersebut, Jaksa sering mengabaikan permintaan hak-hak tersangka, seperti permintaan tersangka untuk dilakukan pemeriksaan saksi/ahli dari tersangka dengan tujuan membuat terang suatu perkara,” urai Yasin.
Alasan ketiga, sejarah pembentukan KUHAP menyatakan:
“Adanya dua instansi tersebut yaitu kepolisian dan Kejaksaan yang sama-sama mempunyai wewenang melakukan penyidikan tindak pidana dalam peraktek menimbulkan kesimpang-siuran karena tidak ada pembidangan yang jelas dan tegas antara fungsi penyidik dan jaksa/penuntu umum.. karena itu di dalam rancangan undang-undang tentang hukum acara pidana ini diadakanlah suatu pembidangan yang jelas antara fungsi penyidik dan jaksa/penuntut umum. Dalam rancangan undang-undang ini ditentukan bahwa penyidikan sepenuhnya dilaksanakan polisi. Selain itu ditentukan pula sebagai penyidik ialah pegawai negeri sipil tertentu… dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah kordinasi dan pengawaan polisi… bilamana jaksa berpendapat bahwasanya belum cukup unsur-unsur atau kurang lengkap hasil penyidikan yang diajukan oleh pihak polisi, maka jaksa membuat catatan yang kemudian diserahkan kembali kepada polisi untuk dilengkapi… perbuatan jaksa atau penuntut umum dalam hal ini dinamakan penyelidikan lanjutan. Untuk jelasnya maka penyidikan lanjutan “deiure” ada pada Jaksa (agung) tetapi “de fakto” ada pada polisi dan wajib dilaksanakn oleh polisisesuai dengan catatan jaksa/penuntut umum.”
“Pemberian kewenangan jaksa sebagai penyidik telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghilangkan jaminan keadilan mengakibatkan jaksa telah bertindak sewenang-wenang dan merugikan Pemohon,” kata Yasin tegas.
Sidang ini masih berlangsung di MK.