Oleh: Lu’luatul Mabruroh
SUKA cita menyambut Idul Fitri tidak hanya berarti sebagai kembalinya kebebasan kita untuk makan dan minum setelah satu bulan penuh berpuasa. Akan tetapi pada hari yang fitri hakikatnya manusia harus kembali pada fitrah awal penciptaannya sebagai manusia. Hal itu berarti harus dipahami dengan benar apa filosofi dan makna hari yang fitri sebenarnya menurut tinjauan syari’at.
Kata fitri seakar dengan kata fitrah atau Futuur yang berarti memperbaharui makanan. Sedangkan dalam akhlak disebut fitrah yang artinya suci. Yang mana pada saat Ramadhan umat muslim berusaha membersihkan diri dari dosa, yaitu manusia kembali sampai pada masa untuk mengoreksi diri supaya Allah SWT membersihkannya dari dosa. Jadi dari kata fitrah bisa berarti lembut, suci, bersih. Statemen yang sampai dari Al Quran dan Hadits adalah:
كل مولود يولد على الفطرة
“Setiap yang terlahir, lahir dengan membawa fitrahnya”.
BACA JUGA: Tradisi Khas Ramadhan dan Idul Fitri di Era Ottoman
Jadi setiap bayi yang lahir sudah terlahir dengan membawa fitrah. Dalam Al Quran makna fitrah ada dua. Yang pertama bisa berarti sebagai kecenderungan untuk beribadah, kecenderungan untuk mencari Allah SWT, yaitu berislam, tunduk dan taat. Seperti yang tertuang dalam kalam Allah:
فاقم وجهك للدين حنيفا, فطرت الله التي فطر الناس عليها
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (QS. Ar Rum: 30)
“Maka hadapkanlah dirimu ke dalam ketentuan syari’at dengan lurus dan benar”, yakni mulai serius melaksanakan tuntunan syariat dengan lurus dan benar. Jika sudah benar maka seperti dalam firman Allah فطرت الله التي فطر الناس عليها Itulah fitrah Allah saat pertama kali menciptakan manusia, yaitu komitmen untuk mengerjakan aturan syariat dengan cara lurus dan benar agar tidak menyimpang.
Ketika ada komitmen untuk mengerjakan syari’at dengan lurus dan benar, maka hal itu oleh Allah disebut sebagai fitrah. Jadi sejak Allah menciptakan manusia pertama kali, tak lain, hanya untuk memenuhi aturan syari’at dalam beribadah. Hal ini seperti yang tersebut dalam QS 51:56.
وما خاقت الجن و الإنس إلا ليعبدون
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah” (QS. 51 : 56)
Penjelasan ini terkait dengan Ibadah yang benar adalah yang sesuai dengan tuntunan syari’at. Akar kata Fathara dalam bagian pertama bisa diartikan sebagai fitrun yang menunjuk terhadap materinya, sedangkan hasilnya disebut dengan fitrah. Begitu pula Allah memiliki sifat Faathir, yakni pembuat aturan syari’at.
Jadi memasuki hari yang fitri bukan hanya berarti memakai pakaian yang baik, memakan makanan yang baik, namun lebih daripada itu adalah memenuhi segala asas fitrah kemanusiaannya dengan cara memenuhi kewajiban syari’at yang baik dan benar. Yaitu semakin dekat kepada Allah. Bukan hanya mengalami perubahan dari segi penampilan ataupun makanan. Akan tetapi juga dari segi komitmen untuk kembali pada syari’at.
Jika pada waktu Ramadhan, umat Islam dilatih untuk kembali pada tuntunan syari’at maka pada bulan Syawal manusia dituntut untuk mengimplementasikan hasil latihan selama sebulan Ramadhan, dalam artian hasil implementasi haruslah lebih baik dari pada hasil latihan. yang dimaksud dengan syari’at disini adalah Islam. Maksudnya manusia harus berislam secara kaffah dengan menjalankan rukun Islam yang lima secara totalitas. Inilah amalan bulan Syawal yang berlaku sampai pasca bulan Syawal, alias tidak terbatas waktu.
BACA JUGA: Ketupat, Simbolisasi Hari Raya Idul Fitri Masyarakat Jawa
Yang kedua, kata fitrah menunjuk pada sesuatu yang baik, suci, bersih, lembut, dan ramah. Karena itulah manusia sebelum lahir ataupun setelah lahir membawa kefitrahan Islamnya. Yang bisa mengubah kefitrahannya adalah perjalanan hidupnya, baik orang tua, lingkungan dan masyarakatnya.
Nantinya dia akan memilih beriman kepada Allah ataukan tidak, menjadi manusia yang baik atau buruk. Lebih dari itu, kodrat itu tentunya ada campur tangan Allah SWT sebagai Dzat Yang Maha Berkehendak. Wallahu alam bisshawab. []
SUMBER: TEBUIRENG