PENGETAHUAN atau penilaian kita terhadap sesuatu bertingkat-tingkat. Kadang kita mengetahui atau menilai sesuatu secara pasti, tanpa sedikit pun terbuka kemungkinan adanya kekeliruan atau perbedaan.
Kadang, terbuka kemungkinan adanya perbedaan. Dari kemungkinan-kemungkinan tersebut, ada yang tingkatnya sama, menurut pengetahuan atau penilaian kita. Ada juga, yang salah satunya lebih kuat dan dominan dibandingkan yang lain.
BACA JUGA: Sejak Kecil, Imam Syafi’i Belajar Ilmu Agama dengan Semangat Membara
Pengetahuan atau penilaian yang bersifat pasti, tidak membuka kemungkinan lain, disebut “ilmu”. Sedangkan yang membuka kemungkinan lain, jika kemungkinan-kemungkinan tersebut sama, disebut “syakk”. Jika ada yang lebih kuat, yang kuat disebut “zhann”, sedangkan yang lemah disebut “wahm”.
Nah, salah satu definisi fiqih yang paling dikenal adalah, العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية, ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Pendefinisian fiqih sebagai “ilmu” di sini, mungkin membuat kita mengira bahwa semua hal yang dibahas dalam fiqih adalah sesuatu yang pasti, tidak membuka kemungkinan lain, dan artinya ia tidak membuka ruang terjadinya perbedaan pendapat.
Untuk menghindari kesalahpahamam ini, para ulama menjelaskan bahwa “ilmu” yang dimaksud dalam definisi fiqih ini, adalah “zhann”.
Hal-hal yang dibahas dalam fiqih adalah perkara-perkara yang sifatnya zhanni, masih mengandung kemungkinan dipahami secara berbeda, karena dalil-dalil yang digunakan adalah dalil-dalil zhanni.
BACA JUGA: Awas Jangan Tertipu, Orang Banyak Bicara Belum Tentu Banyak Ilmunya
Lalu, mengapa mereka menggunakan istilah “ilmu” dalam mendefinisikan fiqih? Jawabannya ada dua:
1. Karena fiqih itu adalah zhann seorang mujtahid, dan karena kuatnya zhann tersebut, hingga ia dianggap mendekati “ilmu”.
2. Karena zhann tersebut, dari sisi wajibnya ia diamalkan, sama dengan “ilmu”, karena itu kadang zhann juga disebut “ilmu”.
Wallahu a’lam.
Rujukan: Al-Imla ‘Ala Syarh Al-Mahalli Li Al-Waraqat, karya Dr. Amjad Rasyid, Halaman 39-40, Penerbit Dar Al-Fath, ‘Amman, Yordania.
Oleh: Muhammad Abduh Negara