RUMAH sangat mencerminkan wajah penghuninya. Itu bisa tampak dari sisi kebersihan, sirkulasi, taman, hiasan dinding, hingga cat tembok. Yang terakhir agak unik, karena tidak semua orang suka semua warna.
Apalah arti sebuah warna. Ungkapan itu tidak cocok diungkapkan buat mereka yang begitu memaknai seluk-beluk warna. Karena tiap warna punya makna filosofi tersendiri.
Orang memaknai putih sebagai suci, merah yang gagah berani. Begitu pun dengan hitam dan abu-abu. Hitam adalah warna tegas dan juga berarti duka. Sedang abu-abu bisa bermakna dua: menunjukkan sesuatu yang canggih, dan sesuatu yang dinilai masih samar. Masih banyak makna lain untuk warna yang berbeda.
Karena urusan makna warna inilah, orang menjadi tidak sekadar suka atau tidak suka. Bukan juga soal cocok atau tidak, menarik atau menjemukan. Tapi karena lebih soal filosofi itu. Setidaknya, hal itulah yang ingin diresapi Pak Jajang.
Baru tahun ini bapak dua balita ini akhirnya bisa beli rumah. Setelah enam tahun bekerja, lima tahun menikah, dan empat tahun mengontrak, baru kali ini ia bisa merasa lega. Satu kewajiban seorang ayah dan suami bisa ia tunaikan, menyediakan rumah buat keluarga.
Rumah tipe dua sembilan yang berlokasi di pinggiran kota Depok itu, resmi jadi milik Pak Jajang. Walau mencicil, Pak Jajang sudah bisa bilang, “Rumah saya di kawasan Depok!” Itu jauh lebih bagus dari sebelumnya. Karena ia cuma bisa bilang, “Rumah kontrakan saya di kawasan segitiga emas Jakarta.” Apalah arti segitiga beremas kalau status rumahnya masih ngontrak.
Persoalannya, rumah baru itu belum bisa langsung dtempati. Ibarat orang menikah, baru ada calon pengantin, wali, dan saksi. Sah memang. Tapi, masih belum memadai. Air belum ada, kamar mandi butuh polesan, dapur yang belum jelas, dan halaman yang belum terpagar. Masih ada satu lagi yang tidak kalah penting, cat tembok yang masih jauh dari indah.
Umumnya perumahan rakyat, bentuk, ukuran, dan cat dasarnya sama. Kalau saja tidak ada nomor, mungkin para pemilik bisa salah masuk. Setidaknya, bingung mencari rumah sendiri. Kan nggak mungkin menandai rumah dengan tanda silang di tembok depan.
Perlu ciri khusus. Dan ciri itu sangat ditentukan oleh warna cat. Hal itulah yang kini dicermati Pak Jajang. Sebelum ia dan keluarga tinggal, semua kelengkapan mesti beres. Termasuk soal cat.
Satu per satu kelengkapan rumah mulai selesai. Dan semua itu sudah diserahkan seratus persen Pak Jajang ke tukang bangunan setempat. Biayanya agak lebih mahal, memang. Tapi, Pak Jajang yakin kalau itulah jalan yang paling bijak. “Yah, itung-itung biaya sosial!” ucap Pak Jajang suatu kali ke isterinya.
Tiga pekan sudah perbaikan berjalan. Semuanya bisa dibilang rampung. Kecuali soal yang satu: cat. Para tukang bangunan tidak berani mengambil inisiatif sendiri. Khawatir kalau Pak Jajang tidak setuju. Repot kan, rumah yang sudah dicat, dicat ulang.
Pak Jajang agak tertegun ketika soal itu ditanyakan. Warna apa, ya? Suara batin Pak Jajang seperti mencari jawab. Ia nyaris lupa kalau urusan warna bukan soal sederhana. Setidaknya buat Pak Jajang sendiri. “Warna apa, Pak?” tanya tukang bangunan mencari penegasan. Pak Jajang mengamati rumah-rumah di sekitarnya. Agak lama. “Oke. Cari warna yang belum ada di rumah sekitar sini!” ucap Pak Jajang ringan. Dan yang bertanya pun mengangguk pelan.
Tiga hari kemudian, Pak Jajang ngontrol lagi. Ia kaget. Dari sederet rumah yang tampak sama, cuma rumah Pak Jajang yang sangat beda. Pasalnya, rumah Pak Jajang dicat merah tua. “Ya Allah, kenapa jadi begini?” gelisah Pak Jajang sambil menghampiri para pekerja.
Setelah bicara-bicara, para tukang bangunan akhirnya mengerti. Warna itu memang sangat beda dibanding rumah-rumah di sekitar. Tapi, terlalu mencolok. Mana ada orang yang rumahnya dicat merah tua.
Dari pembicaraan itu, akhirnya ada kesepakatan. Rumah mesti dicat ulang. Warnanya memang mesti beda dengan rumah sekitar. Tapi, jangan terlalu mencolok. “Kalau bisa warnanya yang unik dan bukan merah apa pun!” tegas Pak Jajang menjelaskan. Lagi-lagi, para tukang bangunan pun mengangguk pelan. Karena mendesak untuk ditempati, Pak Jajang langsung membayar upah dan biaya cat baru. Itu ia maksudkan agar pengecatan bisa berlangsung cepat. Ahad besok, ia dan keluarga bisa langsung masuk.
Minggu pagi itu begitu cerah. Mobil bak terbuka berlalu pelan melewati perumahan itu. Tampak perabot rumah memenuhi bagasi belakang mobil. Setelah mobil berhenti, Pak Jajang pun tergesa-gesa keluar dari mobil. Wajahnya agak merah padam. Ia seperti menahan marah.
Istri dan dua balita Pak Jajang pun ikut turun. Seperti terhipnotis, isteri Pak Jajang terkesima dengan rumah barunya. Pelan, ia berujar ke suaminya, “Bang, kok warnanya kuning begitu!” Dan dua anaknya pun ikut menimpali, “Idup golkal. Idup!” []