JIMA dengan istri adalah sebagian dari laku ibadah. Oleh karena itu, hendaklah jima’ dilakukan dalam kondisi suci. Artinya tidak menanggung hadats besar.
Masalahnya kemudian, bagaimanakah jikalau seseorang hendak berjima untuk yang kedua kali, padahal ia belum mandi untuk jima’ yang pertama? Bagaimana hukumnya? Haruskah orang itu mandi terlebih dahulu kemudian jima’ untuk kedua kali?
BACA JUGA: Waktu yang Baik untuk Wudhu, Salah Satunya Jika Hendak Berjima dengan Istri
Jika seseorang telah usai jima’ dan berkeinginan untuk mengulanginya lagi, hendaklah ia berwudhu terlebih dahulu. Karena jika tidak diselengi dengan wudhu hukumnya makruh. Maka hilangkanlah kemakruhan itu dengan istinja’ dan wudhu dan tidak harus mandi terlebih dahulu.
Bahkan disebutkan bahwa selagi kita belum mandi maka makruh hukumnya, makan, minum, demikian pula tidur. Jadi sekurang-kurang menghilangkan kemakruhan adalah wudhu.
Alhafidzul Iroqy mempunyai nadzam yang menerangkan beberapa hal dari pada tujuh puluh delapan perkara yang disunnatkan berwudhu.
Diantaranya;
وان جنبا يختار اكـــــلا ونومـــة # وشربا وعودا للجماع المجدد
Artinya: “Dan sunnat wudhu jika orang yang junub itu memilih makan atau tidur, minum dan mengulang jima’ yang diperbaharui.”
Ini juga yang diterangkan dalam sebuah hadits riwayat Abi Said dari Nabi saw beliau bersabda:
اذااتى احدكم اهله ثم اراد ان يعود فليتوضاء (رواه الجماعة الا البخارى
Artinya: “Barang siapa telah mempergauli istrinya, kemudian bermaksud mengulanginya lagi (untuk kedua kali) maka hendaklah ia berwudhu.”
BACA JUGA: Jika Istri Menolak Ajakan Jima (1)
Bahkan dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Hakim, menerangkan bahwa berwudhu sebelum jima’ dapat menambah semangat:
فانه انشط للعود
Artinya: bahwasannya wudhu itu dapat menambah semangat untuk mengulangi (jima’)
Alhafidz selanjutnya menerangkan:
ويؤيد هذا حديث أنس الثابت فى الصحيحين انه صلى الله عليه وسلم كان يطوف على نسائه بغسل واحد
Artinya: “Hal ini diperkuat dengan hadits Anas dalam Shahihain, bahwa Nabi saw. berkeliling mempergauli isteri-isterinya dengan Mandi yang satu,” (Disarikan dari Taudlihul Adillah, karya Muallim KH. Syafi’i Hadzami). []
SUMBER: NU.OR.ID