PAGI menjelang. Usaid bergegas menemui Rasulullah untuk menceritakan apa yang dilihatnya semalam. “Masuklah, Usaid,” kata Rasulullah. “Cerita apakah yang hendak engkau sampaikan?”
“Saya melihat sekumpulan awan yang sangat indah, wahai Rasulullah. Awan itu bergumpal-gumpal menyerupai sebuah payung. Di sela-selanya, saya melihat kilatan-kilatan cahaya putih. Awan itu bergerak perlahan ke atas lalu hilang dari pandangan saya.”
BACA JUGA:Â Jika Punya Rasa Cinta, Banyaklah Berdoa Bukan Berdua
“Apa yang sebelumnya engkau lakukan?” Usaid pun mulai bercerita.
Hatinya telah tenggelam dalam cinta. Cinta itu semakin lama semakin melesapnya dalam kenikmatan yang mendamaikan. Setiap saat, ia rindukan saat-saat membaca mushaf. Tiada yang lebih ia inginkan selain bercengkerama dengan ayat-ayat Allah. Suaranya yang merdu, bacaannya yang fasih dan tartil, menciptakan bacaan yang menawan. Para sahabat senantiasa menunggu ia membaca Al-Qur’an dan berebut mendengarkannya.
Ia adalah Usaid bin Hudhair. Ia masuk Islam setelah bertemu dengan Mush’ab bin Umair yang tengah mengadakan pertemuan dengan bani Abdul Asyhal. Di sanalah untuk pertama kalinya ia mendengar ayat suci. Ayat-ayat itu seperti air telaga dan ia seperti musafir yang kehausan. Usaid luruh dalam keteduhan ayat-ayat suci dan mengucapkan kalimat syahadat.
Malam itu suasana demikian hening. Angin bertiup dengan gemulai menggerakkan pucuk-pucuk dedaunan. Bintang-bintang menatap Usaid dengan pandangan yang syandu. Rembulan seakan menatapnya dan berharap lantunan suara emasnya.
Putra Usaid, Yahya, tertidur lelap di sampingnya. Kuda kebanggaan yang selalu menyertainya dalam medan jihad tertambat di samping rumah. Segalanya hening. Hati Usaid bergetar. Suasana malam yang syandu menggerakkan kerinduannya untuk menjumpai AI-Qur’an. Segera ia membuka kitab dan mulai membaca. “Al if Lam, Mim, Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (al-Baqarah: 1-4)
Suara Usaid membelah aliran udara, lalu menembus pori-pori pepohonan. Malam yang syandu terasa semakin menyentuh batin insan beriman. Tiba-tiba, Usaid dikejutkan oleh suara ringkikan dari kandang kudanya. Kuda yang sebelumnya tenang itu bangkit dan meronta-ronta hingga hampir lepas tali pengikutnya. “Ada apa gerangan dengan kudaku?” batinnya sembari berhenti membaca sejenak. Kuda itu pun tenang kernbali.
“Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb mereka dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (al-Baqarah: 5).
BACA JUGA:Â Surat Cinta dari Allah
Usaid melanjutkan bacaannya. Aneh! Kudanya kembali meronta-ronta seperti sebelumnya. Usaid berhenti membaca sejenak. Kuda itu pun tenang. Ketika ia mulai membaca kembali, kuda itu pun ribut seperti semula. “Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi?” batin Usaid tak mengerti.
“Yahya, bangunlah, Nak. Tidurlah menjauh dari sini. Ayah takut kuda itu akan lepas dan menginjakmu,” kata Usaid membangunkan anaknya.
“Apa yang kau lihat adalah malaikat-malaikat yang ingin mendengar bacaanmu, Usaid. Andai kau terus membaca, pastilah orang-orang akan melihatnya pula sebab pemandangan itu tidak tertutup dari mereka,” ajar Rasulullah. Masya Allah! Tahulah Usaid mengapa bacaannya menimbulkan keributan. Rupanya, kuda-kuda itu meronta karena melihat Para malaikat. []
Sumber: 77 Cahaya Cinta di Madinah/ Ummu Rumaisha/ al-Qudwah Publishing/ 2015