SEBUAH pepatah lama mengatakan, ‘Malu bertanya sesat di jalan.’ Pepatah baru pun mengatakan lain, ‘Malu bertanya sesat di kamar.’ Benarkah? Kenyataan bisa mengatakan sebaliknya.
Pengantin baru adalah kenangan yang paling mengesankan buat semua orang. Sebuah suasana yang sulit terlupakan. Kadang bisa memunculkan senyum. Dan tidak jarang mengingatkan sesuatu yang tergolong sangat disayangkan.
Buat sebagian orang, pengantin baru tidak jarang sekadar legalitas formal dari aneka bentuk hubungan yang sebelumnya sudah lama terjalin. Orang menyebutnya dengan pacaran. Ada yang sudah terjalin bulanan, dan tak jarang tahunan. Pasangan pengantin baru seperti itu sudah sangat saling kenal. Bahkan boleh jadi, saling bosan.
Namun, tidak begitu buat sebagian yang lain. Pengantin baru bukan sekadar legalitas. Bukan juga sesuatu yang formalitas. Justru, suasana pengantin baru saat-saat dimulainya pacaran. Inilah yang disebut pacaran pasca nikah.
Buat mereka yang sudah lama pacaran sebelum nikah, mungkin menganggap pengantin baru sebagai sesuatu yang biasa. Toh, sebelumnya juga mungkin sudah seperti pengantin-pengantinan. Tapi buat yang pacaran setelah nikah, pengantin baru terasa begitu special. Begitu istimewa. (kayak martabak telor!) Hal itulah yang kini dirasakan Wawan.
Pemuda lajang usia dua puluhan ini kerap merasa sulit tidur. Dadanya pun sering berdebar-debar. Itu dirasakan bukan lantaran Wawan mengalami gangguan jantung. Ia tidak sedang sakit. Wawan sehat, bahkan sangat sehat.
Ketidaknyamanan itu dirasakan Wawan pekan-pekan ini. Ia tidak tahu sebabnya. Kata orang, Wawan sedang gelisah. Kenapa? Apa karena dikejar-kejar utang? Bukan. Wawan gelisah karena lima hari lagi akan menikah.
Kenapa mesti gelisah? Wawan sendiri tidak tahu. Entah kenapa, ia seperti sedang menuju lorong gelap yang penuh misteri. Masalahnya, calon isteri yang tidak sampai satu minggu lagi akan resmi mendampinginya seumur hidup itu baru sekali ia lihat. Itu pun tidak berduaan. Tapi, didampingi dua orang teman pengajian.
Apa Wawan tidak suka cara seperti itu? Sama sekali tidak. Ia justru sangat senang. Wawan sadar, karena dengan cara itulah, hati dan niatnya untuk menikah bisa lebih bersih. Semata-mata, karena ingin mendapat ridha Allah. Ia yakin, dengan cara itulah Islam menuntun ke jalan yang penuh kebahagiaan.
Tapi kenapa mesti gelisah? Itulah yang dibingungkan Wawan. Ia khawatir tidak bisa bersikap wajar dengan isterinya kelak. Persoalannya sederhana: baru kali ini aktivis mesjid ini mengkhususkan diri dengan urusan perempuan. Sebelum-sebelumnya tidak. Jangankan berdua-duaan, disapa seorang gadis saja Wawan sudah keringatan. Bicaranya pun tiba-tiba gagap. Kalau sudah begitu, Wawan jadi sangat salah tingkah.
Nah, persoalan itulah yang kini kerap mengganggu pikiran Wawan. Apa mungkin ia bisa bersikap wajar. Tenang. Dan tidak deg-degan. Bagaimana caranya? Gimana kalau setelah menikah, ia berada sekamar dengan seorang wanita yang sangat baru ia kenal. Apalagi kamar yang ia tinggali itu bukan rumah orang tuanya. Tapi, kamar sang perempuan. “Hiii, seram!”
Kebingungan itulah yang sempat memunculkan gagasan aneh Wawan. Gimana kalau setelah akad nikah, ia ikut pulang ke rumahnya sendiri. Ia tidur di rumah orang tua sendiri, dan sang isteri tidur di rumah yang lain. Setelah itu, baru telepon-teleponan, surat-suratan, kunjungan malam minggu, dan seterusnya. “Bisa nggak ya?”
“Nggak bisa!” seorang teman menjawab ide ‘cemerlang’ Wawan. Karena itu artinya, Wawan tidak memperlakukan isteri dengan cara yang baik. Yang bingung itu kan cuma Wawan, belum tentu calon isterinya. Bisa jadi, calon isteri Wawan sudah lama menanti saat-saat indah bersama suami pilihan. “Jangan korbankan perasaan orang lain demi menutupi kelemahan diri!” Panjang lebar, teman dekat Wawan memberikan alasan. “Jadi?” Wawan minta jalan lain.
“Sebaiknya, malam pengantin nanti, kamu ngobrol-ngobrol dulu dengan isterimu, Wan!” jalan lain pun sudah ditawarkan. “Malam besoknya?” tanya Wawan. “Ya ngobrol lagi! Sebaiknya, kamu yang lebih dulu nanya.” Dan, Wawan pun mengangguk-angguk. Pikirannya pun menerawang. “Iya. Kenapa nggak dimanfaatkan buat berkenalan,” suara batin Wawan menguatkan gagasan sang teman.
Lima hari pun berlalu cepat. Waktu seolah tak peduli dengan kebingungan Wawan. Akad nikah berlangsung begitu khidmat dan meriah. Semua yang datang selalu menghias wajah dengan senyum dan doa. “Barakallah, Wan. Selamat, ya Wan!” Dan seterusnya. Wawan pun menyambut dengan senyum bahagia.
Satu hal yang selalu diingat-ingat Wawan: lebih dulu bertanya. Ia ingat betul nasihat yang teman, “Jangan sampai, isterimu jadi salah paham!” Iya. Memang benar. Wawan mengukuhkan jawaban itu. Kalau ia diam, isterinya bisa salah paham.
Malam itu begitu senyap. Semua pintu rumah sudah terkunci. Hampir semua lampu rumah mertua Wawan sudah padam. Kecuali lampu halaman dan kamar yang ditinggali Wawan dan isterinya. Sesekali, suara deru kendaraan mengisi keheningan kamar Wawan.
Rumus sang teman masih diingat Wawan: tanya lebih dulu. Iya benar. Bismillah. Tapi, ada satu hal yang terlupa. “Ya Allah, aku lupa,” ujar Wawan dalam hati. Mau tanya apa? Nanya nama? Alamat? Nama orang tua? Atau, nama suami? Wawan lagi-lagi bingung. Keringat dingin mulai mengucur. Tapi, ia tak boleh diam.
“Hmm…,” Wawan memulai pembicaraan. “Anu, hmm, saya mau tanya. Gimana menurut ukhti tentang poligami?” tanya Wawan sekenanya. Cuma kata itu yang ia ingat.
Tak terdengar jawaban apa-apa. Lama sekali. Wawan terus menunggu. Tiba-tiba, “Huk, huk, huk…” Isteri Wawan menangis sesegukan. Dan, sang isteri pun keluar meninggalkan kamar. [mnuh/islampos]