“KANDA, kita belum pernah pacaran. Baru dua Minggu berkenalan langsung menikah. Boleh bertanya, menurut Kanda, cinta itu apa?” Istriku menatap dengan lembut.
Kupegang tangannya. Keringat dingin ke luar dari dahi, wajar saja hal ini terjadi sebab seumur hidupku baru kali ini memegang jemari perempuan yang pada akhirnya kunyatakan sebagai kecintaan. Bahkan terasa sekali, tangan istriku juga bergetar barangkali karena rasa gugup yang menyelimutinya.
“Cinta itu kita. Saat diriku menyatakan sanggup menikahimu, dan engkau menerimaku inilah yang disebut cinta. Bukankah defenisi tertinggi dari cinta ialah pernikahan yang dilandasai ikhtiar menyempurnakan separuh agama, saat kita menikah karena Allah, maka kita telah menjelma cinta.”
“Lalu bagaimana dengan mereka yang belum menikah tetapi saling mencintai sebagai sepasang kekasih?”
“Mereka memaknai kesukaan sebagai kecintaan. Kesukaan hanya berdasar nafsu birahi sedangkan kecintaan berdasar nafsu rohani. Bukankah salah satu landasan cinta itu memuliakan orang yang dicintainya, jadi apakah dengan menjadikan seseorang sebagai kekasih itu sebuah kemuliaan? Tidak, itu sebuah kehinaan yang nyata. Bukankah pacaran mendekatkan diri pada zina, seseorang yang tega mengarahkan diri sendiri dan orang lain pada sesuatu hal yang berpotensi melanggar ketentuan Allah tidak layak disebut pecinta. Berbeda dengan pernikahan, sebab cinta sudah menjadi nafsu menyempurnakan separuh agama, menjadi sebuah sarana ibadah.”
“Bukankah pengenalan satu sama lain itu penting, jujur saja saat pertama kali Kanda pegang tadi, tangan Dinda gemetar. Hal ini karena sebelumnya kita belum saling mengenal lebih jauh.”
“Bersyukurlah dengan getaran yang Dinda rasakan, sebab pada saat itu cinta di antara kita mulai bertumbuhkembang menjadi lebih besar. Ada perasaan campur aduk yang tak bisa dibahasakan dengan kata-kata, tetapi hanya mampu dirasakan dengan jiwa. Bukankah demikian yang seharusnya terjadi dalam cinta, tidak harus diujarkan tetapi mampu dibahasakan oleh seluruh tubuh menjadi getaran-getaran indah? Bukankah menikah diniatkan untuk ibadah, jadi penyesuaian diri sesudah pernikahan Insya Allah juga bernilai ibadah.”
“Benar sekali Kanda, jantung Dinda terasa berdetak kencang. Malu sebenarnya mengucapkan hal ini, tetapi entahlah bersamaan dengan detak jantung ada getaran lain yang tak mampu Dinda defenisikan selain sebuah rasa bahagia.”
“Begitulah yang terjadi apabila manusia mampu mendudukkan cinta secara benar, permulaan cinta itu tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, sebab telah nyata seseorang yang dicinta termiliki sebagai karib rumah tangga. Kalau mendudukkan cinta secara salah, permulaan cinta itu dipenuhi angan-angan. Pacaran itu sebuah halusinasi yang paling membahayakan, pikirannya membayangkan segala sesuatu yang indah karena merasa sudah memiliki dan termilki, kenyataannya keduanya belum ada ikatan pernikahan.”
“Terima kasih, Kanda. Sepertinya nyamuk sudah mengusik ketenangan kita, bagaimana kalau kita tutup kelambu. Biarlah kita saling menerjemahkan cinta melalui bahasa tubuh, tanpa perlu diucap lewat kalimat namun dapat terasa menghangat.”
Aku tersenyum, lampu kamar kupadamkan. Kelambu kututup, saatnya menikmati debaran cinta yang selama ini selalu kusenyapkan lewat doa. Semoga dapat dipertemukan dengan karib jiwa dalam mencipta rumah tangga sakinah, mawaddah, warahmah. []
Arief Siddiq Razaan, 26 November 2015