SETIAP kali datang ke sekolah, ada saja kisah yang luar biasa. Hari itu, seorang anak bertanya kepada saya, “Ummi, kenapa kemarin Ummi tidak datang ke sini?”
Saya jawab, “Maaf, Ummi ada kegiatan lain, sehingga baru bisa datang hari ini. Memangnya ada apa?”
Dia menatap saya, kemudian berkata, “Kemarin aku datang ke tempat yang luas sama teman-teman, lalu jalan. Terus lalu ada terowongan, lalu aku lempar-lempar batu, lalu jalan lagi, lalu aku muter-muter kotak hitamnya, Ummi…”
“Oh, itu namanya kegiatan manasik haji. Dek Kurey senang ada di sana?” tukas saya.
“Senang, Ummi. Nanti kapan-kapan aku mau lagi ke sana,” ujarnya.
Saya pun menjawab, “Baik, insya Allah, tahun depan kita akan mengikuti kegiatan manasik haji lagi. Terimakasih, ya Dek Kurey sudah mau berbagi cerita tentang kegiatan yang dilakukan hari kemarin.”
Nama teman kecil saya ini Reyvan tapi panggilan kesayangannya Dek Kurey. Kalau mengingat kembali bagaimana Dek Kurey dulu ketika pertama kali menginjakan kakinya di sekolah kami, rasanya bahagia sekali.
Hari pertama sekolah, anak yang kurang bagus berbahasa ini menjerit-jerit histeris karena takut melihat orang banyak. Ia tidak mau masuk ke ruangan sehingga uwak-nya yang biasa menjaganya setiap hari karena ayah dan ibunya sama-sama bekerja, harus ikut masuk ke dalam ruangan.
Namun demikian setelah satu bulan bersama, Dek Kurey sudah bisa mandiri tidak perlu ada uwak lagi di ruangan kelas. Sikapnya agak tertutup. Setiap hari selalu ada saja kejadian yang membuatnya menangis. Hingga delapan bulan bersekolah, saya berkesempatan bertemu dengan mamanya.
Mama Kurey bercerita bahwa suatu hari setelah satu semester anaknya bersekolah, tiba-tiba ia menelpon mamanya yang sedang bekerja. “Mama, kenapa Dara ke sekolah diantar mamanya dan aku ke sekolah diantar uwak? Mama, kenapa Dara pulang sekolah dijemput mamanya dan aku dijemput uwak?” Itu kalimat yang Dek Kurey katakan kepada mamanya via telpon seluler uwaknya.
“Saat saya menerima telepon, saya tidak jawab sepatah kata pun kepada Kurey, Bu. Tapi saya langsung berlari ke kantor manajer, dan langsung pada saat itu pula saya mengajukan pengunduran diri. Saya sedih bercampur bahagia Kurey berbicara seperti itu kepada saya. Saya merasa bersalah karena selama ini saya lebih mengutamakan karier. Saya pergi bekerja, Kurey masih tidur. Dan saya pulang, Kurey sudah tidur,” tuturnya ketika itu dengan suara tersendat.
“Saat itu juga saya berlari ke parkiran membawa motor saya dan secepatnya pulang. Saya sudah tidak tahan ingin memeluk Kurey dan meminta maaf.”
Sejak mamanya berhenti bekerja, tampak perubahan luar biasa pada diri Dek Kurey. Ia terlihat lebih bahagia hari-hari ini.
Banyak pilihan karier bagi seorang wanita di dunia ini. Tapi karier menjadi seorang ibu adalah pilihan yang terbaik. []