SUATU hari, saya menerima kabar bahwa terjadi masalah di sekolah. Kejadiannya , seorang anak marah hingga melukai temannya. Hari itu juga saya bertanya kepada guru bagaimana hal itu bisa terjadi. Lalu keesokan harinya saya berbicara dengan orangtua. Ternyata setelah diajak bicara, mama anak ini mengakui bahwa ia sama seperti anaknya selalu marah jika menyikapi sesuatu yang kurang atau tidak sesuai dengan keinginannya.
Contohnya ketika lantai baru saja di pel, kemudian anaknya menginjak lantai yang masih basah, langsung mama marah besar, “Aduh…kamu ini bagaimana sih, ngepel itu cape tau, sekarang kotor lagi kamu injak. Mama bilang tunggu di luar sampai lantainya kering,” tandasnya, dengan volume suara yang sangat keras.
Saya juga baca status seorang anak pada salah satu jejaring sosial. Isinya, “Aku mau bunuh diri aja. Di sekolah dimarahi guru. Di rumah dimarahi mama, aku memang gak berguna.” Naudzubillah.
Suatu waktu saya bersama dengan anak yang dicap oleh orang dewasa di sekitarnya “anak bodoh”. Dia menangis sambil berkata kepada mamanya, “Mama kenapa semua orang di rumah ini marah-marah ke aku? Aku tidak suka dimarahi! Bagaimana caranya supaya orang tidak marah, Ma?”
Mamanya sedih dan hanya bisa diam membisu mendengar pertanyaan anaknya.
Pada suatu saat, teman saya, seorang psikolog, memberikan tes pada seorang anak, anak ini diberi sebuah kartu olehnya dan ditanya, “Kira-kira ini gambar apa ya?“.
Jawabannya, “Gambar monster, Bu”. Setelah kegiatan selesai, ia memberi penjelasan. Ternyata kartu itu mewakili sosok papa. Artinya papa bagi anak ini adalah sosok monster yang sangat menakutkan. Karena setiap papa pulang bekerja, bukan kehangatan yang diterimanya, melainkan perlakuan tidak baik. Papa berkata “ Sana main di luar, jangan berisik disini, papa cape baru pulang kerja,” dengan nada ketus dan suara keras.
Dari beberapa peristiwa di atas, sepertinya hari-hari yang dilalui oleh anak-anak ini dipenuhi dengan nuansa kemarahan.
Tahukah wahai para orangtua dan guru? Penelitian mutakhir mengatakan bahwa setiap bayi baru dilahirkan, memiliki milyaran sel otak. Anak yang cerdas adalah anak yang memiliki banyak sambungan antara sel otak yang satu dengan sel otak lainnya.
Ibu yang juga seorang peneliti, melakukan penelitian perkembangan otak bayinya sendiri. Sebuah alat khusus dipasang di kepala bayinya. Kemudian alat itu dihubungkan dengan kabel-kabel komputer. Sehingga dia bisa melihat pertumbuhan sel otak anaknya melalui layar monitor. Ketika bayinya bangun, dia memberikan ASI. Ketika bayinya minum ASI , dia melihat gambar-gambar sel otak itu membentuk rangkaian yang indah. Ketika sedang asyik menyusui, bayi yang berusia 9 minggu itu, tiba-tiba menendang kabel komputer. Si ibu kaget dan berteriak, “No”!
Teriakan si ibu membuat bayinya kaget. Saat itu juga, si ibu melihat gambar sel otak anaknya menggelembung seperti balon, membesar dan pecah. Kemudian terjadi perubahan warna yang menandai kerusakan sel.
“Mungkin kesedihan ini hanya saya yang menanggungnya. Sebagai ibu dan sekaligus sebagai scientist, saya menyaksikan otak anak saya hancur oleh teriakan saya sendiri, ibunya,” tukas Lise Eliot, PhD, seorang Neuroscientist di Chicago Medical School dalam bukunya What’s Going On in There? How the Brain and Mind Develop in The First Five Years of Life (Bantam, 2000).
Nah, apa yang terjadi jika seorang anak setiap detik, menit, jam dan hari-hari yang dilaluinya selalu dipenuhi dengan pelototan, teriakan, apalagi ditambah amarah? Tak terbayangkan berapa jumlah sel otaknya yang akan mati akibat perlakukan buruk orang dewasa di lingkungannya.
Masih kah kita akan marah pada anak-anak kita? []