SEORANG musafir dalam safar ta’at/bukan maksiat, boleh untuk tetap puasa dan boleh juga untuk berbuka. Mana yang lebih afdhal (lebih utama) ?, maka dirinci : Jika puasa memberikan mudharat, maka berbuka lebih utama. Jika tidak, maka puasa lebih utama. Ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’i dan para ulama’ Syafi’iyyah. Kemudian saya (abdullah al-jirani) teliti lebih lanjut, ternyata ini merupakan pendapat dari Jumhur ulama’ (mayoritas ulama’).
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa berbuka itu lebih afdhal (lebih utama) secara mutlak baik menimbulkan mudharat atau tidak, ini pendapat GANJIL dan lemah. Pendapat ini bersandar kepada pengqiyasan masalah ini kepada masalah mengqashar (meringkas shalat) ketika safar. Ini suatu kekeliruan.
BACA JUGA: Mau Safar? Jangan Lupa Baca Doa Ini
Memang benar, bahwa mengqashar shalat ketika safar itu lebih afdhal secara mutlak dari tidak mengqashar. Akan tetapi, masalah berbuka ketika safar itu, berbeda dengan masalah qashar. Kenapa ? karena pada qashar, telah terwujud keringanan dari Alloh, diiringi dengan lepasnya tanggungan. Maksudnya, jika kita shalat Dhuhur dengan diringkas menjadi dua rekaat ketika safar, maka itu sudah mencukupi tanpa ada tanggungan lagi untuk melaksanakannya secara sempurna di lain waktu.
Adapun puasa, jika seorang berbuka ketika safar, dia masih punya tanggungan untuk menggantinya di bulan lain. Sehingga pengqiyasan semacam ini pengqiyasan dengan adanya perbedaan. Dan ini termasuk qiyas yang rusak.
BACA JUGA: Kamis, Hari yang Disukai Rasul untuk Safar
Selain itu, masalah qashar dalam shalat, dalam rangka keluar dari khilaf (perselisihan ulama’). Karena ada yang berpendapat mewajibkan dan ada yang menyunahkan. Ketika melakukan qashar, dia telah keluar dari khilaf yang ada. Adapun masalah wajibnya berbuka puasa ketika safar, maka tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama’ yang pantas diperhitungkan. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani