SABAR adalah menahan diri atau jiwa dari hal-hal yang tidak disukai, baik yang tidak disukai itu berupa musibah, pelaksanaan ketaatan maupun meninggalkan kemaksiatan. Adapun syukur, maknanya secara bahasa adalah mengagungkan pemberi nikmat karena nikmat yang telah ia berikan. Sedangkan secara istilah, berarti menggunakan seluruh nikmat yang telah diberikan Allah untuk taat kepada-Nya.
Meskipun para ulama sepakat bahwa sabar dan syukur merupakan sifat yang harus dimiliki oleh seorang mukmin, mereka berbeda pendapat, mana yang lebih utama, orang yang mendapat berbagai kenikmatan kemudian bersyukur, atau orang yang mengalami kesulitan kemudian bersabar.
BACA JUGA: Sabar Itu Bukan Sekadar Teori
Sebagian ulama berkata, orang kaya yang bersyukur lebih utama dibandingkan orang faqir yang bersabar. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
وقليل من عبادي الشكور
Artinya: “Hanya sedikit dari hamba-hambaKu yang bersyukur.” (QS. Saba [34]: 13)
Menurut mereka, penyifatan Allah ta’ala, bahwa hamba-hamba-Nya yang bersyukur hanya sedikit, menunjukkan sifat syukur itu lebih utama dibanding sifat sabar.
Sedangkan sebagian ulama lain menyatakan, orang faqir yang sabar lebih utama dibandingkan orang kaya yang bersyukur. Hal ini berdasarkan kalam Allah ta’ala:
إنما يوفى الصابرون أجرهم بغير حساب
Artinya: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah, yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar [39]: 10)
Menurut kelompok ulama ini, orang-orang yang bersabar, yang disebutkan pahalanya tanpa batas (bi ghayri hisab), karena saking banyaknya pahala yang diberikan, menunjukkan ia lebih utama daripada sifat syukur.
BACA JUGA: Rumus Rumah Tangga Bahagia Itu Dua: Sabar dan Syukur
Berbeda dengan dua kelompok di atas, Al-Ghazali dalam “Ihya ‘Ulumiddin”, tidak memutlakkan salah satunya. Beliau menyatakan, syukur lebih utama dari salah satu sisi, dan di sisi lain, sabar lebih utama. Hal ini sebagaimana air lebih utama, bagi orang yang sedang kehausan. Dan roti lebih utama, bagi orang yang kelaparan.
Penjelasan Al-Ghazali ini sangat baik. Wallahu a’lam. []
Faidah dari kitab: Mishbahuzh Zhalam Syarh Bulughil Maram, karya Muhammad Muhajirin Amshar Bekasi, Jilid 1, Halaman 280, Diterbitkan oleh Darul Hadits, Jakarta (dengan sedikit pengembangan).
Facebook: Muhammad Abduh Negara