Oleh: Fatimah Azzahra, S.Pd
Ibu Rumah Tangga tinggal di Bandung
“HUWAAA..” tiba-tiba tangis si kecil pecah. Segera kutengok. Ternyata, ia digigit kakaknya. Dalam sepersekian detik, langkah kaki dipercepat. Jantung berdegup cepat. Nafas memburu hebat. Hingga volume suara naik beberapa oktaf. “Kakak, adiknya jangan digigit. Kan sakit!”
Segera kudekap tubuh si kecil. Namun, tak berhenti di situ. Kalau emosi sudah meninggi. Anggota tubuh lainnya bisa beraksi. Bisa jadi, mendorong, menarik, atau menyubit kakaknya.
“Kakak mau ummi gigit juga?” Si sulung menggeleng.
“Kalau kakak ga mau digigit. Ga boleh gigit orang. Ga ada yang mau nemenin kakak nanti.” Masih dengan nada tinggi.
The Devil
Kesetanan, mungkin jadi satu kata yang tepat menggambarkan orang yang sedang marah. Pikirannya jadi buntu. Perilakunya diburu nafsu. Gejala yang terlihat, mulai dari wajah memerah, pupil melebar. Otot tegang dan jantung berdegup kencang karena terjadi pelepasan hormon adrenalin dan kortisol. Ya, tubuh mempersiapkan diri untuk kondisi bertarung. Mirip dengan gambaran devil dengan muka merahnya, mata yang melotot, juga taring dan tanduknya.
BACA JUGA: Ketajaman Do’a Ibu
Ternyata, devil ini ada dalam setiap diri kita. Ia menampakkan wujudnya kala kita sedang marah. Marah kita timbul bisa jadi karena beberapa sebab. Bisa jadi karena tubuh sudah lelah, tidak punya ilmu menyelesaikan masalah dengan cara lain, atau ada trauma masa kecil.
Siapa yang suka dimarahi? Tak ada satu orang pun yang senang dimarahi. Bahkan bagi pemarah sekalipun. Kalimat yang meluncur dari mulut kita kala marah, mungkin tidak salah. Tapi, jadi berbeda ceritanya kala volume suara tinggi bahkan membentak. Memang fisik anak tak ada yang terluka. Tapi, sadarkah kita telah menggores hatinya? Astagfirullah.
Ingat kembali, anak kita titipan ilahi. Bukan milik kita dan suami. Harus dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya. Maka, agar sang devil tak lagi muncul dalam diri. Kita harus bebenah. Kenali penyebab marah, belajar mengelola emosi. Agar anak dan keluarga tak ada yang tersakiti, baik fisik atau hati.
Anak Kecil yang Bersembunyi
Salah satu faktor marah kita pada anak adalah karena kita pun dulu sering dimarahi oleh orang tua. Rasa kesal, marah, benci, kala dimarahi saat kita kecil itu tertanam dalam alam bawah sadar. Ya, ia investasi terbesar devil dalam diri. Walaupun kita tahu rasa tak enak kala dimarahi. Tahu teori parenting yang melarang kita membentak anak, memarahi mereka kala bereksplorasi. Tapi, secara ‘refleks’, tubuh ini justru bereaksi negatif, alias marah. Karena alam bawah sadarlah yang memiliki porsi lebih besar pada diri kita dibandingkan semua teori parenting.
BACA JUGA: Ibunda Orang Miskin
Ada anak kecil yang terjebak dalam diri kita. Ia akan tetap hadir di sana. Menguasai diri kita hingga jatuh dalam lingkaran pengasuhan yang sama dengan apa yang dulu kita rasakan. Inner child ini hanya bisa hilang kala kita bisa menerima rasa kesal, marah, benci yang dulu kita rasa. Kemudian, memaafkan semua yang pernah menghadirkan rasa itu. Hingga akhirnya berdoa dan berazzam untuk tidak mengulangi lingkaran setan.
Hadiah Surga
“Jangan marah dan bagimu surga” (HR. Ath Thabrani)
Begitu mahal hadiah bagi yang bisa menahan amarah. Surga. Keindahan dunia tak ada yang bisa menyainginya. Siapa yang tak inginkan surga? Maka, jika kita benar-benar inginkan surga, harus mulai memenej emosi jiwa. Jika melihat polah ajaib anak-anak. Segera amankan jika ada yang tersakiti. Diam dulu sejenak. Istigfar, 3 kali, 5 kali, 7 kali. Lalu, bermonologlah. Kenapa bisa terjadi hal begini? Haruskah kita marah pada anak? Apa yang harusnya dilakukan agar anak tak mengulanginya lagi tapi tidak menimbulkan trauma?
Rasulullah saw pun memberikan tips bagaimana memenej emosi.
“Apabila seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk; apabila amarah telah pergi darinya, (maka itu baik baginya) dan jika belum, hendaklah ia berbaring.”(HR. Ahmad)
BACA JUGA: Marah, Apakah Membatalkan Puasa?
“Apabila seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam.”(HR. Ahmad)
Walaupun marah adalah emosi alami pada manusia. kita tetap diminta untuk membingkainya sesuai dengan petunjuk nabi. Diantaranya diam, dan mengubah posisi. Bisa ditambah dengan istigfar, dan berwudhu.
Jangan biarkan setan menang, menguasai kita. Taklukan ia dengan iman dan takwa kita. Perkuat taqorrub ilallah. Hujamkan dalam diri, bahwa kita inginkan surga tertinggi. Maka, bersabarlah, jangan marah. Jangan marah.
Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari menyakiti orang lain baik fisik atau verbal kala emosi melanda. Dan semoga kita menjadi pribadi yang bisa memenej dengan baik emosi diri dari hari ke hari. Wallahua’lam bish shawab. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.