TANYA: Bolehkah mencicil mandi janabah?
Jawab: Dalam Ilmu Fiqih ada istilah ‘al-Muwalah’ berarti melakukan satu perbuatan atau lebih dalam waktu yang bersamaan, dan menyelesaikannya tanpa dijeda dengan durasi yang cukup lama. Sinonim dari al-Muwalah adalah al-Mutaba’ah.
Misalnya ketika seseorang melaksanakan wudhu dalam satu waktu, ia menyelesaikan wudhu-nya dari niat hingga mencuci kaki tanpa diselingi perbuatan lain. Disini, ia dikatakan telah melaksanakan wudhu dengan ‘Muwalah’ sebab melakukan semua rukun wudhu’ tanpa dijeda dan diselingi dengan perbuatan lain.
BACA JUGA: Benarkah Tidak Usah Wudhu Lagi Sesudah Mandi?
Sedangka jika ia berniat wudhu lalu membasuh wajahnya, kemudian keluar kamar mandi menuju dapur untuk menyelesaikan rutinitas masak-memasak, beberepa saat kemudian ia kembali lagi ke kamar mandi untuk menyelesaikan wudhu’nya (membasuh tangan, kepala/rambut, dan kaki), maka dalam wudhu’nya ini tidak ada unsur al-Muwalah.
Dikutip dari Rumah Fiqih, Ustazah Aini Aryani, Lc, menjelaskan bhwa mandi Janabah adalah konsekuensi yang harus dilakukan bagi mereka yang mengalami hadas besar, misalnya karena berhubungan suami istri, atau sebab usai dari haid dan nifas. Menurut mayoritas ulama, rukun mandiri janabah hanya dua, yakni niat dan meratakan air pada seluruh tubuh. Adapun selain rukun, mandi janabah punya ritual lain yang hukumnya sunnah, seperti mencuci kemaluan sebelum mulai mengguyur air ke badan, berwudhu dahulu, mendahulukan anggota kanan sebelum yang kiri, dan sebagainya.
Terkait pertanyaan “Bolehkah mencicil mandi janabah?” Lazimnya, orang tidak akan menyudahi mandinya sebelum seluruh tubuhnya basah dengan siraman air. Namun jika ada orang ingin ‘mencicil’ mandi janabahnya karena suatu hal, misalnya: malam hari mencuci kepala dan rambut, lalu subuh menyempurkan mandi dengan menyiram anggota tubuh yang lain, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Sebagian mengatakan boleh, sebagian lagi tidak. Perbedaan ini didasari apakah al-muwalah dalam mandi janabah itu hukumnya wajib, ataukah sunnah. Jika wajib, maka tidak boleh mandi janabah sambil diselingi dengan hal yang lain dengan durasi yang cukup lama. Sedangkan bagi yang mengatakan bahwa al-muwalah hukumnya sunnah, maka boleh.
BACA JUGA: Cara Mandi Junub Bagaimana sih?
Berikut penjelasan darimasing-masing pandangan tersebut:
Al-Muwalah Dalam Mandi Janabah Hukumnya Sunnah
Mayoritas ulama dari madzhab al-Hanafiyah, asy-Syafi’iah (qaul jadid) dan al-Hanabilah mengatakan bahwa al-muwalah dalam mandi janabah hukumnya sunnah. Artinya, al-muwalah tidak menjadi parameter sah dan tidaknya mandi janabah, sebab ia bukan termasuk rukunnya. Jika seseorang mandi janabah misalnya, lalu niat dan membasahi sebagian tubuhnya, lalu keluar kamar mandi dan melakukan hal lain, kemudian kembali ke kamar mandi dan menyelesaikan siraman ke sisa tubuh yang lain, mandi janabahnya ini sah menurut ulama dari madzhab ini.
Al-Imam As-Sarakhsi (w.483), salah satu ulama dari madzhab Al-Hanafiyah dalam kitabnya Al-Mabsuth mengatakan :
وإن غسل بعض أعضائه، وترك البعض حتى جف ما قد غسل أجزأه؛ لأن الموالاة سنة عندنا
“Dan bahkan ketika ia membasuh sebagian tubuhnya, dan tidak membasuh sebagian yang lain hingga anggota tubuh yang tadi dibasuh menjadi kering, sebab al-muwalah dalam madzhab kami hukumnya sunnah” (Al-Mabsuth jilid 1, hal. 58)
Ibnu ‘Abdin (w.1252) yang juga ulama dari madzhab Al-Hanafiyyah mengatakan :
سنن الغسل : (قوله: كسنن الوضوء) أي من البداءة بالنية والتسمية والسواك والتخليل والدلك والولاء
“Sunnah-sunnah mandi janabah sama dengan sunnah-sunnah di dalam wudhu’, yakni dari awal dimulai dari niat, basmalah, bersiwak, dan menyela-nyelai, memijat, dan muwalah”. (Radd al-Muhtar ala ad-Dur al-Mukhtar, jilid 1, hal. 156)
Ibnu Najim dari madzhab Al-Hanafiyah sedikit menyempitkan bolehnya menjeda mandi janabah. Beliau mengatakan bahwa ‘mencicil’ mandi janabah hukumnya boleh jika ada udzur (alasan yang dibenarkan syariat). Misalnya karena minimnya ketersediaan air dimana airnya tidak cukup digunakan untuk mandi, lalu ia pergi mencari-cari air beberapa saat, lalu melanjutkan mandinya yang tadi belum selesai. (al-Bahru ar-Raiq jilid 1, hal. 28)
Al-Imam An-Nawawi (w.676), ulama dari madzhab As-Syafi’iyyah menguatkan pendapat ulama dari madzhab Al-Hanafiyah bahwa al-muwalah dalam mandi janabah hukumnya sunnah, sebagaimana yang beliau tulis dalam Al-Majmu’ :
وأما موالاة الغسل فالمذهب أنها سنة
“Dan adapun muwalah dalam mandi janabah menurut madzhab ini (As-Syafi’i) hukumnya sunnah.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, jilid 2, hal. 184)
Begitu juga ulama dari madzhab Hambali, mereka memiliki pendapat yang sama. Al-Imam Al-Mardawi (w.885) dari madzhab Al-Hanabilah mengatakan:
لا يشترط للغسل موالاة، على الصحيح من المذهب
“Muwalah tidak disyaratkan dalam mandi janabah menurut madzhab ini (Al-Hanabilah).” (Al-Inshaf Fi Ma’rifati ar-Rajih Min al-Khilaf jilid 1, hal. 141)
Ibnu Qudamah yang juga dari madzhab Al-Hanabilah menambahkan bahwa al-muwalah tidak masuk dalam rukun mandi janabah :
فعلى هذا تكون واجبات الغسل شيئين لا غير : النية، وغسل جميع البدن
“Dan oleh karena itu, hal-hal yang wajib dilakukan saat mandi janabah hanya dua saja, yakni : niat dan membasuh/menyiram seluruh tubuh” (Al-Mughni, jilid 1, hal. 162)
Ulama dari madzhab Al-Hanabilah dan salah satu pendapat dari madzhab Syafi’i mengatakan bahwa mandi janabah yang terpotong (dijeda oleh hal lain) hukumnya sah, asalkan ketika kembali menyelesaikan mandinya ia wajib memperbarui niat sebelum menyiramkan air pada sisa anggota tubuh lainnya. Sebab niatnya di awal terpotong dengan jeda waktu yang cukup lama (Raudhah at-Thalibin, jilid 1, hal. 64).
Akan tetapi sebagian ulama lain dari madzhab as-Syafi’iyah tidak mewajibkan untuk memperbarui niat saat ia kembali menyelesaikan siraman pada sisa anggota tubuh yang lain (Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, jilid1 , hal. 453)
BACA JUGA: Sesudah Haid, Begini Cara Mandinya
Al-Muwalah Dalam Mandi Janabah Hukumnya Wajib
Ulama dari madzhab al-Malikiyyah mengatakan bahwa al-muwalah hukumnya fardhu dalam mandi janabah. Dalam melakukan mandi janabah, seseorang harus menyelesaikan mandinya dalam satu waktu, tanpa harus disela-selai atau dipotong dengan hal yang lain.
Al-Qarafi (w.684), salah satu ulama dari madzhab ini mempertegas dalam kitabnya Adz-Dzakhirah :
لخامس : الموالاة فرض في الوضوء والغسل خلافا لأحمد بن حنبل
“(Rukun) kelima ; al-muwalah hukumnya fardhu dalam wudhu dan mandi janabah, pendapat ini berbeda dengan pendapat Imam Ahmad Bin Hambal.” (Adz-Dzakhirah, jilid 1, hal. 273)
Ad-Dasuki dari madzhab ini mengatakan bahwa kedudukan al-muwalah dalam mandi janabah adalah wajib, selama ia tidak lupa dan tidak ada udzur. Maka, jika di tengah-tengah mandi janabah ia melakukan perbuatan lain dengan durasi yang cukup lama, kemudian ia melanjutkan mandinya, maka mandi janabahnya tidak sah. Akan tetapi, bagi yang punya udzur syar’i seperti ketersediaan air yang sangat minim, atau udzur syar’i lain, maka ia boleh menjeda mandi janabahnya tanpa harus memperbarui niat saat melanjutkan mandi dan menyiram pada sisa angota tubuh lainnya. (Hasyiyah ad-Dasuki, jilid 1, hal. 133)
Jadi, mayoritas ulama dari madzhab al-Hanafiyah, asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah berpendapat bahwa al-muwalah hukumnya sunnah dalam mandi janabah, bukan rukun yang wajib dilakukan. Akan tetapi ulama dari madzhab al-Malikiyah mengatakan bahwa al-muwalah fardhu yang wajib dilakukan.
Pendapat mayoitas ulama menyebut mandi janabah sah walaupun terkesan ‘dicicil’ karena mandinya tidak dilakukan dalam satu waktu sekaligus. Dengan syarat, saat keramas di malam hari ia harus meniatkannya untuk mandi janabah. []
SUMBER: RUMAH FIQIH