DUA bulan ini saya menghadapi (mantan dan calon) karyawan yang aneh. Yang pertama. Minta cuti. Minta cuti maghrib. Cutinya besoknya. Aneh. Padahal dia tahu, peraturan cuti kita berikan sebulan setelah permintaan diajukan.
Satu bulan kemudian, ketika ditanya sudah siap kerja, jawabannya ga jelas. Aneh lagi kan? Karyawan yang lain, “Berentiin aja, Pak.” Semuanya berkata seperti itu. Yo wis, talaklah jatuhnya.
Saya sebenernya penganut madzhab baik-baik saja, bertemu dan berpisah, apalagi cuma pekerjaan di dunia, bisa kita lakukan baik-baik. Kata urang Sunda, “Ga susah nyimpen omongan mah.” Ya tapi, faktanya, ada juga orang seperti ini.
Yang kedua, baru kejadian kemarin. Ada yang melamar ke tempat kerja kami. Dari jauh. Sudah cukup umur. Di CV-nya banyak banget tempat kerja sebelumnya. Saya ga curiga. Tapi dalam waktu lima hari saja, saya udah tau, ini orang ga cocok dengan kami. Kalau cuma ga bisa nulis, atau di tempat lain, ga bisa operasiin mesin, bisa diajarin. Dua tiga hari juga beres. Tapi kalau attitude-nya ga beres, itu berat banget dibenerin.
Dia pergi tanpa pamit. Di meja kerjanya, tempat bekas makanan berserakan. Sore-sore kemarin, saya nyuci piring-piring dan gelas di kantor.
Pas pulang, saya teringat nasihat ustadz saya. Suatu kali beliau membeli mangga. 2 kilo. Sampe rumah, ketika diperiksa, semuanya busuk. Ustadz saya kemudian tanpa banyak bicara, membuang semua mangga busuk itu ke tempat sampah, sambil beristighfar.
“Saya,” ujar ustadz saya, “banyak khilaf dalam hidup saya. Banyak salah. Mangga-mangga ini mungkin cara Allah SWT untuk membersihkan khilaf dan salah saya. Semoga.”
Besoknya, kata ustadz, ada yang mengirimi mangga jauh lebih banyak dan lebih bagus dibandingkan mangga yang sudah dibuang.
MasyaAllah. Demikian pelajaran hari ini. Tapi, mangga, sekali busuk, mungkin akan terus busuk dimanapun tempatnya. []