Oleh: Hendriyan Rayhan
Alumni Ma’had Khairul Bariyyah Kota Bekasi
DI antara faedah kisah dalam al-Qur’an, sebagaimana disebutkan Manna Khalil al-Qattan, ialah meneguhkan hati Rasulullah dan umatnya atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang beriman tentang menangnya kebenaran bersama pendukungnya serta hancurnya kebatilan bersama pendukungnya. Maka al-Qur’an begitu banyak memuat kisah, disebutkan ada 6000 ayat menurut Ibnu Abbas.
Kisah pejuang kebenaran sangat menarik untuk dihayati maknanya. Selain perjuangan-perjuangan para Nabi dan Rasul, al-Qur’an juga bercerita tentang seseorang yang bukan Nabi dan bukan Rasul, namun perjuangan membela kebenaran membuatnya dimuliakan oleh Allah. Kisahnya diabadikan dalam al-Qur’an surah Yasin ayat 13 sampai 27.
Pada ayat 13 dan 14 Allah berfirman yang artinya, “Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka;(yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu”.
“Mereka menjawab: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatu pun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka”.Mereka berkata: “Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus kepada kamu.Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas”, demikian lanjutannya pada ayat 15 sampai 17.
Kemudian kisah itu berlanjut pada ayat 18 sampai 19, “Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami”.Utusan-utusan itu berkata: “Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu mengancam kami)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas”.
Ditengah kerasnya perjuangan dua orang utusan, bahkan Allah kuatkan menjadi tiga utusan, tetapi penduduk kampung itu tetap mendustakan mereka. Lalu kisah al-Qur’an menampilkan seeorang biasa yang bukan Nabi dan bukan Rasul. Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya menyebut nama orang itu Habib al-Najjar. Orang biasa yang tidak begitu menonjol dalam ilmu. Orang biasa yang tidak begitu melimpah dalam harta, bahkan disebutkan bahwa ia adalah seorang tukang kayu. Berikut kisahnya pada ayat 20 sampai 25:
“Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata: “Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu,ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan dikembalikan?Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya, jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudaratan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikit pun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata.Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah (pengakuan keimanan) ku.”
Ia datang dari ujung kota yang jauh dengan bergegas. Nuraninya tergerak untuk membela ketulusan para Rasul itu. Kedatangannya tanpa sambutan terhormat karena ia bukanlah orang populer. Orang biasa yang tidak begitu kenal dengan para Rasul itu, tidak banyak yang ia tahu. Ia membela pembawa kebenaran yang tiada meminta balasan apa pun. Ia sampaikan kebenaran dengan bahasa yang sederhana tanpa basa basi.
Ungkapannya tak perlu dibuat-buat karena lahirnya dari kedalaman nurani. Ia membela para utusan itu dengan seruan yang mudah dipahami kaumnya. Kritik terhadap sesembahan kaumnya pun ia lontarkan dengan halus. Kritiknya indah dengan pertanyaan untuk menjebak lawan bicara, karena jawabannya secara tidak langsung sudah ditentukan.
Maka sebagian kalangan awam yang memahami bahasa ketulusan pun mengikuti seruan Habib al-Najjar. Akan tetapi, dikisahkan bahwa selanjutnya Habib al-Najjar justru disiksa dan dibunuh oleh pembesar kaumnya.
Alangkah indah penutup kisah ini pada ayat 26 dan 27, “Dikatakan (kepadanya): “Masuklah ke surga”. Ia berkata: “Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui,apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan”.
Orang biasa yang dimuliakan oleh Allah karena perjuangannya membela kebenaran. Maka menjadi aneh jika di masa ini ada beberapa orang ‘pintar’ yang meremehkan penyeru dan pembela kebaikan. “Baru belajar, ilmu masih sedikit, sudah berani ngajak-ngajak”, kata seperti ini terkadang keluar dari orang yang merasa dirinya lebih unggul dalam pengetahuan.
Memanglah benar bahwa ilmu begitu penting.“Andai ilmu ada bentuknya, pastilah lebih jelita dari mentari dan purnama”, demikian dikatakan Ibn Qayyim. Maka begitu banyak pesan-pesan Nabi untuk terus belajar dari buaian sampai liang lahat. Akan tetapi belum tentu yang berilmu tinggi itu lebih mulia dari yang biasa saja. Bahkan jalan yang ditempuh Habib al-Najjar telah mengantarnya pada derajat mulia, meski tak begitu unggul dalam ilmu. Fudhail ibn Iyadh mengingatkan, “Si ‘Alim masihlah bodoh terhadap yang diilmuinya, sampai ia beramal dengannya”.
Dari kisah Habib al-Najjar, kiranya dapat meneguhkan orang beriman atas agama Allah, memperkuat kepercayaan tentang menangnya kebenaran bersama pendukungnya serta hancurnya kebatilan bersama pendukungnya. Meski akhir hidupnya begitu perih, namun Allah memuliakannya. Ia memperoleh kenikmatan karena Iman kepada Rabb-nya, membenarkan utusan-Nya, dan bersabaratassiksaankaumnya.
Alangkah bahagia jika tahu dan mau memahami, sebab apa yang membuat orang biasa sepertinya mendapat ampunan dan termasuk golongan orang-orang yang dimuliakan. Wallahua’lam. []