KITA ketahui ada beberapa manusia yang membuat kerusakan di muka bumi ini. Mereka melanggar peraturan atau pun ketetapan yang telah Allah gariskan. Mereka suka membuat kerusakan dan melanggar hukum. Lalu, apakah ini sudah menjadi ketetapan Allah?
Suatu pelanggaran hukum atau perbuatan merusak di muka bumi ini yang dilakukan manusia tidak akan terjadi kecuali pada sasaran yang bisa dijangkau oleh tangan manusia. Yang tidak terjangkau akan berjalan serasi dan seimbang, tidak pernah rusak, terganggu atau terlambat. Matahari, bulan, bumi atau seluruh planet misalnya, semua berjalan dengan tetap dan mantap. Karena yang mengatur bukan manusia tetapi Allah SWT.
Dari sini, masalah yang sejak dulu selalu mengganggu pikiran manusia. Apakah amal perbuatan manusia sudah ditentukan atau atas pilihannya sendiri.
BACA JUGA: Manusia yang Paling Bahagia
Manusia diberi hak dan kemampuan memilih dalam soal alam, soal kehidupan, atau dalam urusan ghaib dan dalam menjalankan perintah serta larangan yang dibebankan kepadanya, walau pun dia tidak mengetahui hikmahnya.
Tidak mungkin manusia dipaksa dalam soal perintah atau larangan kecuali dalam hal yang manusia mampu dan bebas memilih, yaitu pilihan melakukan dan pilihan meninggalkan. Karenanya, pelanggaran atau kerusakan terjadi pada sasaran yang terjangkau pilihan manusia. Yang manusia tidak mampu, paksaan (jabariyah) mesti baik, serasi dan tertib. Misalnya, manusia tidak akan bisa mengatur denyut jantung dengan tangannya. Bila dia tidur atau tidak sadarkan diri, denyut jantungnya tetap melakukan tugas dengan baik dan teratur.
Allah SWT berfirman, “Barangsiapa ingin beriman biarlah ia beriman dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir,” (QS. Al-Kahfi: 29).
Ayat ini memberi pengertian kepada kita bahwa masalah iman dan kekafiran termasuk masalah pilihan yang tidak ada paksaan bagi manusia.
Allah SWT memberi hidayah bimbingan kepada siapa yang dikehendakinya, tetapi dengan ketentuan orangnya tidak kafir, tidak zalim dan tidak durhaka pada Islam.
“Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang kafir,” (QS. Al-Baqarah: 264).
“Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim,” (QS. Al-Baqarah: 258).
“Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik,” (QS. Al-Maidah: 108).
“Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus,” (QS. Al-Baqarah: 213).
Ayat ini memberi makna bahwa Allah memberi petunjuk bagi yang menghendaki petunjuk, dipermudah oleh Allah jalan mencapai hidayah itu, selama kehendak mencapai hidayah itu ada pada diri orang itu dan dia berupaya mencapainya.
Hati manusia mengandung dua unsur kekuatan yang saling berlawanan. Kekuatan kebaikan dan kejahatan.
Allah SWT berfirman, “Dan jiwa serta penyempurnaan ciptaan-Nya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,” (QS. Asy-Syams: 7-8).
Allah SWT menetapkan bahwa kelahiran manusia, bentuk serta organ tubuhnya adalah ketentuan Allah. Tetapi Allah menjadikan soal keimanan adalah pilihan manusia. Mengapa? Karena Allah SWT menghendaki agar hamba-Nya datang kepada-Nya dengan keimanan walaupun hamba itu bisa memilih kekafiran. Allah ingin agar hamba itu taat dan patuh pada-Nya dengan pilihannya sendiri meskipun hamba itu mampu mendurhakai.
Manusia tidak dituntut untuk melepaskan diri dari sifat-sifat kemanusiaannya kemudian menjadi malaikat. Tidak punya syahwat dan tidak menikmati kelezatan tubuh dengan aneka keindahan alam dan kehidupan.
Manusia dituntut agar memuliakan dan menghargai dirinya dengan memelihara keseimbangan dan belandaskan pokok-pokok ajaran Allah. Tidak dituntut mengamalkan secara maksimal dan juga tidak dibenarkan mengabaikan dan meninggalkannya secara keseluruhan. Setiap nafsu mempunyai kadar kemampuan dan kekuatannya.
BACA JUGA: Hati-Hati, 8 Bahaya Ini Ada pada Lisan Manusia
Allah SWT berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan. Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya,” (QS. Al-Baqarah: 286).
Allah SWT juga berfirman, “Orang yang mampu hendaknya memberi nafkah menurut kemampuannya,” (QS. Ath-Thalaq: 7).
Seorang yang bertanya tentang hukuman Allah terhadap pelanggaran atau dosa yang dilakukannya, sesungguhnya pada diri orang itu terdapat sifat kebaikan. Kita tidak boleh menghalangi atau mencegah dia mengembangkan sifat kebaikan yang ada pada dirinya. Sebaliknya, justru harus berupaya menumbuhkan perasaan dan watak kebaikan yang dimiliki dalam batinnya. Kita harapkan dia dapat jujur dan kembali pada Allah dengan hati yang bersih.
Allah SWT berfirman, “Dia (Allah) tida meridhai kekafiran bagi hamba-Nya,” (QS. Az-Zumar: 7).
Allah SWT juga berfirman, “Sedang Allah tidak menyukai kebinasaan,” (QS. Al-Baqarah: 205). []
Sumber: Anda Bertanya Islam Menjawab/Karya: Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya’rawi/Penerbit: Gema Insani