Oleh: Hafis Azhari
Penulis novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten
HASIL penelitian Sigmund Freud menembus batasan-batasan pemikiran para pakar psikologi modern, hingga ia pun menamakan penemuannya dengan istilah “psikoanalisis.” Baginya, ketika manusia menelusuri relung-relung jiwanya untuk menemukan makna keutamaan dan jatidiri, ia membagi jiwa manusia dalam tiga kategori, yakni id, ego dan superego. Konsep ini telah menjadi bahan studi yang terus dianalisis oleh muridnya Gustav Jung, kemudian menjadi cikal-bakal penelusuran ilmiah mengenai hakikat jiwa manusia modern hingga saat ini.
Secara universal teori psikoanalisis Freud sehaluan dengan konsep mendasar dalam Alquran mengenai hawa nafsu manusia untuk memperoleh derajat kemuliaan hidup. Dalam perjuangan untuk mencapai keutamaan, setiap manusia didorong oleh obsesi, ambisi atau hawa nafsunya. Ketika manusia mencapai taraf obsesif yang berlebihan, ia akan mudah tergelincir ke dalam tindakan yang melampaui batas kewajaran. Tetapi, jika ia sanggup mengendalikan atau menaklukkan hawa nafsunya, ia akan tetap konsisten menjalani ujian dan cobaan hidup dalam koridor keimanan dan ketakwaan.
BACA JUGA: Hati-Hati dengan Istidraj
Mari kita padukan hasil penemuan Freud dengan konsep Islam yang sudah dibahas Rasulullah sejak 14 abad yang lalu. Dalam ambisi manusia modern yang mencapai puncak superego, perlu dikendalikan oleh kesadaran diri (ego) untuk mengimbangi peran id (naluri hewani) dan superego (ambisi berlebihan). Kesadaran inilah yang dalam terminologi Islam disebut “annafsu allawwamah” (nafsu penyeimbang) tentang keterbatasan dan ketidakberdayaan manusia pada obsesi dan ambisi duniawinya. Sedangkan, ketika manusia tunduk pada nalurinya (id), ia seakan terjebak ke dalam “annafsu al-ammarah“, yakni kecenderungan manusia untuk melampiaskan hasrat dan nafsunya di luar pertimbangan akal sehat (Surat Yusuf: 53).
Tapi kehidupan terus berproses, dan setiap manusia dibekali Tuhan untuk berpikir dan memikirkan hakikat, tujuan dan cita-cita hidupnya. Ketika manusia terjatuh dalam ujian dan cobaan hidup maka sampailah ke tingkat “annafsu allawwamah”, yang membuat manusia menyadari kesalahan dan kekhilafan dirinya. Pada fase ini, manusia berada dalam titik balik untuk menyadari apa yang telah diperbuatnya di masa lalu. Adakalanya ia mengalami tekanan batin, penderitaan hidup, yang juga dialami oleh para nabi, orang-orang soleh, para seniman, dan juga dialami oleh orang-orang durhaka yang tidak beriman.
Hanya saja perbedaannya, ketika manusia sampai di persimpangan jalan terdapat dua kategori manusia yang akan menentukan nasib hidupnya, yakni apakah ia akan mengambil hikmah dan pelajaran dari masa lalunya. Hingga kemudian, mencapai fase kesadaran akan keterbatasan dirinya, bertobat untuk meninggalkan hal-hal negatif. Ataukah, ia semakin terjerumus ke jurang yang lebih terjal lagi, menjadi celaka, tercela, lantaran tidak ada penyesalan, tak mau mengambil pelajaran dari cobaan hidup atau dosa-dosa yang dilakukannya?
Tipologi kedua ini akan terus-menerus menjebak manusia dalam kerangkeng “annafsu al-ammarah” atau naluri hewani (id). Bahkan tidak sedikit yang terperangkap dalam keangkuhan dan kesombongan, meski dalam hitung-hitungan materi, kelihatannya dia eksis dan kedudukannya seakan terus meningkat. Jadi, orang itu sukses tapi tidak membahagiakan hidupnya.
Dalam istilah agama dikenal dengan “istidraj”, dan dalam dunia teknologi dikenal “juggernaut”, yakni suatu penemuan ilmiah yang kelihatan berhasil, mentereng, glamor, tetapi tidak membawa kemaslahan bagi kehidupan manusia. Hingga pada waktunya, ia akan menenggelamkan dirinya sendiri.
Dalam kondisi yang terjebak oleh nafsu ini, betapa banyak para politisi, penguasa, dan kaum selebritas di era modern ini yang fotonya terpampang di mana-mana, kemudian berubah menjadi pesakitan dalam jeruji besi (hanya dalam hitungan detik). Betapa banyak orang bertitel berpangkat, yang kemudian dihinakan oleh karena ulah perbuatannya sendiri. Betapa banyak orang kaya yang berharap punya umur panjang, tiba-tiba ajal menjemputnya dengan meninggalkan harta-harta menganggur, tanpa sempat menginfakkan kekayaannya kepada umat.
Tanpa kecuali, betapa banyak pesantren atau lembaga pendidikan yang bangunan fisiknya megah dan mentereng, kemudian terbengkalai ditinggalkan penghuninya, menjadi “rumah-rumah hantu”, karena sang pemimpin terjerumus ke dalam nafsu ini. Hal itu menjadi keniscayaan sejarah, apabila sang pemimpin hanya sibuk menumpuk kekayaannya, tanpa mau berpikir (tafakkur) untuk meningkatkan kualitas ilmu dan jati dirinya.
Ketika sudah dihadapkan pada peringatan Tuhan (problem solving), manusia tengah berada pada pilihan-pilihan hidup yang akan menentukan nasibnya di masa depan. Bila ia berhasil maka sampailah kepada derajat ketentraman batin atau jiwa yang lapang (annafsu al-muthma’innah), yakni jiwa yang sudah matang oleh gemblengan penderitaan dan pengalaman hidup. Jiwa yang telah mengarungi jalan-jalan terjal dan berliku. Ia tidak lagi takut dan mengeluh ketika harus mendaki, karena ia pun menyadari bahwa pada gilirannya nanti, setelah masa pendakian ia akan menghadapi masa penurunan. Tetapi, pada saat mendapat kemudahan dan kelapangan itu, ia tak mau terjebak dalam keangkuhan dan kesombongan diri.
Terkait dengan itu, Sigmund Freud dapat pula membuktikan bahwa seorang manusia modern yang ambisius seperti Doktor Faust maupun Promotheus, akan sampai kepada fase “superego” yang harus dijembatani dan dikendalikan oleh kesadarannya (ego). Kita bisa pahami mengapa sastrawan muslim kenamaan, Iqbal, pernah menamakan Tuhan dengan istilah “Ego Universal”, bahwa dalam jiwa-jiwa yang tenang seorang hamba akan mampu meleburkan ego-ego pribadinya ke dalam Ego Universal (apa maunya Tuhan).
Maka muncullah pengertian “ikhlas” yang dapat menaklukkan apa saja di seluruh jagat raya ini. Manusia yang sudah mencapai maqom ini tidak lagi gentar ketika berada dalam kesempitan hidup (nadziron). Tetapi juga ia tidak akan terjerumus pada kesombongan saat berada dalam kelapangan hidup (mubasyiron). Ia senantiasa berserah diri dan tawakkal kepada Allah, yang selalu hidup dalam memorinya. Ia akan selalu ridho dengan ketetapan Allah, dan Allah pun senantiasa ridho kepada hamba yang dikasihi-Nya (al-Fajr: 27-28).
Melihat kesederhanaan, kelembutan dan keikhlasan Imam Ghazali, suatu kali salah seorang sahabat menegurnya, “Apakah yang telah Allah perbuat kepadamu, Wahai Al-Ghazali?”
Dengan tatapan menerawang, sang ulama sufi itu menjawab, “Aku pernah mimpi berjumpa dan berdialog langsung dengan Allah, kemudian Dia Yang Maha Pengasih bertanya kepadaku, ‘Wahai Ghazali, amalan apakah yang telah kau bawa kepada-Ku?’”
Imam Ghazali menguraikan panjang-lebar mengenai usaha dan jerih payahnya selama ini, sebagai seorang pendakwah yang telah menabur amal-amal jariyah karena kreativitasnya dalam menulis buku, penyebar misi Islam dengan menjunjung tinggi kredo Tauhid. Namun kemudian Allah menegurnya, “Bukan itu semua amalan yang Aku maksudkan, wahai Ghazali. Tapi ketika pada suatu hari seekor lalat hinggap di ujung penamu, lalu kamu menghentikan tulisanmu dan membiarkan lalat itu menghirup tinta dari ujung pena tersebut. Kamu lakukan itu atas dasar kasih sayangmu pada seekor lalat. Karena cinta kasih itulah maka kau akan Kumasukkan ke dalam surga.”
BACA JUGA: Istidraj; Nikmat Padahal Azab
Di puncak kreativitasnya yang menggelora, seorang imam dan sufi besar seperti Al-Ghazali tetap harus mengindahkan peringatan Tuhan ketika menghadapi fase “annafsu allawwamah“. Pada saat ia berambisi untuk melanjutkan karya-karya mutakhirnya, semulia apapun karya tersebut dalam pandangan manusia. Ia memilih meneladani Rasulullah bersama Abu Bakar di tempat persembunyiannya (Gua Tsur) dalam kejaran Kaum Qurays. Mereka tidak mengganggu hewan dan pepohonan, justru di puncak kejengkelannya menghadapi para musuh.
Orang-orang mulia itu tidak terperosok ke dalam “annafsu al-ammarah” yang bisa menjerumuskan dirinya ke dalam angkara murka. Tetapi meningkat kepada fase keluhuran budi pekerti (annafsu al-muthma’innah), berserah diri kepada keputusan dan ketentuan Allah. Setelah perjuangan dan ikhtiar dimaksimalkan, mereka bertawakkal kepada-Nya, senantiasa berdoa memohon pertolongan dan ridho-Nya. Dan makhluk manakah yang dapat mengusik dan mengganggu kita jika Allah sudah melindungi diri kita, juga makhluk manakah yang dapat menolong kita jika Allah tidak menghiraukan kita?
Kini, pembicaraan kita sudah sampai pada persoalan vital di persimpangan jalan, apakah kita akan bersikukuh mengandalkan kekuatan dan kemampuan diri, ataukah kita percaya dan yakin adanya kekuasaan absolut yang memenej dan mengendalikan segalanya. Lalu, untuk apa bersandar pada kekuatan lain selain kekuatan-Nya?
[]