BAGAIMANA ketika kita mengetahui, Rabi Yahudi Israel Yitzak Yoseph serukan membunuh warga Palestina? Ia telah terang-terangan berkata, “Siapapun yang datang untuk membunuh Yahudi, wajib baginya tidak kembali hidup-hidup!”
Bagaimana pula ketika kita mendengar Menteri Israel Naftalli Bennet berseru kepada warga Israel agar segera implementasikan pembunuhan terhadap pelaku aksi di Masjidil Aqsha?
Marah atau masih diam?
Adalah Umar al ‘Abd, pemuda belum genap 20 tahun yang maju menikam tiga Yahudi di Tepi Barat. Dan syahid setelah itu sebab tembakan ‘perlawanan’ dari serdadu Zionis.
Kita tahu? Tikamannya adalah pembelaan Al Aqsha dan tiga syuhada Palestina yang lebih awal mendahuluinya berjuang. Apakah salah? Apakah dikatakan tak berperasaan?
Di mana para penuntut ilmu yang mempelajari kondisi perang serta hukum-hukum di dalamnya?
Katakan haruskah kita marah atau masih diam?
Di mana penguasa yang memiliki kekuatan senjata militer? Sedangkan pemuda itu hanya berangkat dengan sebilah pisau!
Ketika warga Palestina bernama Abdel Fattah tergeletak tak berdaya dan dalam kondisi terluka, datang serdadu Israel Elor Azalia menembak Fattah dari jarak dekat dan tepat di kepalanya.
Apa yang terlintas di pikiran kita? Memenjarakan Elor Azalia?
Sayang pengadilan tak memutuskan demikian. Bahkan bocah 7 tahun yang melempar batu ke serdadu Israel lebih wajib ditahan ketimbang pembunuh kemanusiaan itu!
Kita masih tertahan untuk membela? Kita masih bungkam terhadap ketidakadilan?
Marahlah untuk muslim Palestina yang hak beribadahnya saja diganggu. Marahlah untuk muslim Palestina yang jeritan dan lukanya tak habis-habis. Marahlah untuk pejuang muslim Palestina yang meski dihujani peluru dan bom, mereka selalu ada untuk kemuliaan Islam.
Marahlah kepada diri sendiri, ketika tak mampu marah untuk Palestina. []
Sumber data: Sahabat Al Aqsha