MARC Springer dibesarkan dari kedua orang tua yang berasal dari militer AS. Ia dididik dengan sangat keras dan disiplin. Menurut Marc, ayahnya adalah seorang rasis, sehingga ia ikut menjadi rasis hingga usia 24 tahun.
Marc masih ingat, saat kecil ia sering melakukan serangan fisik atau verbal kepada orang Arab dan Muslim dengan menyerang agama mereka, cara hidup, serta keturunannya. Hal ini begitu akrab di kehidupan Marc kecil.
“Saya tumbuh dengan terus-menerus merasa takut akan kekerasan terhadap diri saya sendiri, ibu saya, serta saudara laki-laki dan perempuan saya,” ujar Marc.
Marc kemudian memutuskan mencari kenyamanan di luar lingkungan rumah dengan bergaul bersama teman-temannya. Tapi, Marc justru menemukan teman yang membawanya menjadi pribadi yang lebih kasar.
Marc kemudian bergabung dengan gerakan rasis Skinhead. Seperti halnya selama ini ia menjalani hidup, ia pun tidak puas hanya menjadi anggota dan ingin menjadi pemimpin.
Marc menjadi terkenal dan ditakuti di kota tempatnya dibesarkan. Meskipun, dia melakukan tindakan salah dan tak adil bagi orang lain. Ia merindukan sebuah keluarga dan lingkungan pertemanan yang baik.
Situasi di rumah menjadi tidak terkendali, pergi dari rumah, menjadi peminum alkohol, pemakai narkoba, bahkan tersandung dengan hukum.
Suatu hari, Marc meninggalkan rumah ketika ayahnya bersikap semakin kasar. Di usia yang ke-23 tahun, ia tak lagi merasakan kenyamanan, sehingga memutuskan pergi dan meninggalkan teman-temannya yang berperilaku buruk.
Marc mulai menyadari ada yang salah dengan hidupnya. Di titik inilah, Marc mempertanyakan tujuan hidupnya, termasuk soal agama. Kemudian, dia mengambil sikap untuk mengevaluasi seluruh hidupnya. “Semangat saya dalam membaca menjadikan tumpukan buku sebuah perpustakaan kecil dengan seribu jilid, seluruh buku Kant, Descarte, hingga Ramadan dan Edward,” jelas dia.
Ayahnya yang mengajarkan kebencian terhadap Islam menjadikan Marc tumbuh dengan kebenciannya tanpa tahu apa arti Islam atau agama yang diyakini Muslim. Ia juga tak pernah bertemu Muslim dalam hidupnya.
Marc mencari tahu Islam melalui internet. Selain internet, ia menggunakan buku untuk membantunya memahami dasar-dasar Islam dan sejarahnya. Saat itu, Marc tinggal di Washington dan tidak mengetahui adanya komunitas Muslim. Tak lama, ia dan istrinya pindah ke Inggris Karena faktor pekerjaan.
Ia kembali membaca dan bersungguh-sungguh mempelajari keyakinan, ideologi, dan sejarah Islam serta membaca Al-Quran. Setelah mempelajari Islam, Marc takjub dan banyak dalam Islam menjawab keraguan dan tanda tanya besar yang selama ini menggelayut di pikirannya. Sebut saja, soal tuhan memiliki anak dan konsep dosa. Ia melihat, ada ketidakadilan dalam keyakinan di agamanya.
Islam, di mata Marc, memiliki semua jawaban. Islam membersihkan kebingungan tentang keyakinannya yang lama. Islam juga menghormati seluruh nabi dan mengenalkan mereka sebagai orang-orang hebat. Islam mengajarkan nilai-nilai, Marc juga mendapat semua jawaban dan masa depan manusia.
Perkenalannya dengan Islam yang semakin dalam itu menghadapkannya pada sebuah dilema, yaitu ia harus berhadapan dengan sang istri. Marc sadar betul, begitu ia bersyahadat, akan ada masalah yang terjadi. Akhirnya, ia pun berpisah dengan istrinya.
Sebelum pindah dari Inggris, di sebuah masjid sudut Kota London, Marc berikrar syahadat dengan bantuan teman dari Lebanon. Setelah berpisah dari istri dan berislam, Marc mendapatkan pekerjaan dari Pemerintah AS di Alaska.
Ia kembali belajar memahami Islam dengan membaca baik dari internet maupun sumber lainnya. Untuk memenuhi dahaganya tentang Islam, ia sesekali menyempatkan pergi ke Washington DC berkumpul dengan komunitas Muslim di sana.
Satu keinginan Marc setelah berislam adalah mempunyai pasangan yang sama keyakinan. Ia sempat berpikir, mertua mana yang akan menerima pria mualaf dan bertato.
Akan tetapi, ia tak patah semangat dan terus berdoa. Hingga akhirnya, ia dikenalkan dengan dengan perempuan Muslimah asal Arab Saudi. Keduanya memutuskan berkenalan secara syar’i setelah sebelumnya berkomunikasi melalui e-mail.
Marc berkunjung ke rumah keluarga besar perempuan tersebut. Hingga detik itu, ia sempat berpikir akan ditolak. Setelah tiba di Washington, naik taksi dan setibanya di depan rumah si perempuan, ia dengan penuh pasrah menekan bel dan membaca bismillah. Pintu terbuka. Tampak sekitar 12 orang menyambut Marc dengan penuh kehangatan.
Setelah pertemuan pertama dengan keluarga besar, ia kembali ke Washington, dan pada Januari mereka menikah yang dihadiri keluarga dan teman saja. “Subhanallah, bagaimana Allah  telah menuntun saya dari ketidakpercayaan di rumah yang penuh kebencian, kemudian membimbing saya,” kata Marc. []
Sumber: Khazanah Republika