HARI kedua pernikahan, kami—saya dan istri—sudah pindah ke rumah kontrakan. Sebuah rumah kecil terdiri ruang tamu, ruang tidur dan kamar mandi dan dapur. Dari dapur itu, satu cinta dalam hidup saya dimulai.
Saya masih ingat dengan jelas, waktu makan siang hari itu, saya meringis. Makanan yang dimasak oleh istri saya, rasanya aduhai, tidak karuan di mulut saya.
BACA JUGA: Anda Suami, Pernah Ga Sih Bilang Cinta sama Istri?
Tapi saya tidak pernah mengatakan apapun soal rasa makanan tersebut. Dan saya tetap makan selaiknya. Kondisi itu berlangsung nyaris sampai tiga bulan berikutnya.
Rasa masakan itu tidak ada yang salah. Mungkin persoalannya hanya karena lidah saya bertahun-tahun terbiasa mengunyah makanan yang disediakan oleh kakak perempuan saya, sebelum saya menikah.
Enam bulan setelah pernikahan, saya sudah terbiasa makan di rumah. Ia juga belajar memasak dan mulai mengetahui apa yang saya sukai.
Saya pikir, semua istri di dunia, akan belajar dan mencari tahu makanan apa yang sangat digemari oleh suaminya. Di awal-awal, istri saya bilang kalau saya rewel soal makanan. Saya Cuma nyengir saja.
Selama 19 tahun pernikahan, beberapa kali saya harus pergi ke luar kota untuk beberapa hari. Setelah dua hari di luar, saya sadar saya hampir tak bisa jauh dari rumah.
Sebabnya, saya selalu rindu masakan istri saya. Makanan di luar, hanya bisa bertahan di mulut saya selama dua hari.
BACA JUGA: Mungkin Ayah Bukan Orang Baik-baik?
Setelah itu, saya biasanya benar-benar merindukan makanan rumah. Pernah saya berujar pada dua anak saya yang mulai beranjak besar, “Ada dua hal yang selalu ayah kangeni jika jauh dari rumah, kalian dan masakan ibu kalian.”
Masakan istri mungkin sederhana. Tidak semewah di tempat-tempat makan. Tapi masakan istri selalu membuat kita kembali ke rumah. Mungkin itu karena, setiap istri yang memasak, melakukannya dengan hati dan cintanya. []