KESALAHPAHAMAN sebagian orang tentang madzhab fiqih adalah, mengira bahwa madzhab itu hanya ikut qaul ulama pendiri madzhab atau pengembang madzhab, itu saja. Padahal, sebagai sebuah madrasah pemikiran dalam persoalan amaliyah, ia tak bisa dipahami sesempit itu. Yang mengikat para ulama dalam suatu madzhab adalah metodologi, ushul dan qawa’id dalam madzhab.
Sebagai contoh, Dawud dan Ibnu Hazm bisa saja mengeluarkan beberapa pendapat berbeda, namun keduanya mengikatkan diri dalam sekian konsep yang dipegang bersama, di antaranya, tidak menggunakan metode qiyas dalam berijtihad, bahkan menolaknya mentah-mentah. Karena itu, Ibnu Hazm tetap dikatakan tokoh madzhab Zhahiri, meski ia tak selalu sejalan dengan Dawud dalam beberapa pendapat.
BACA JUGA: Madzhab Tarjih Adakah?
Begitu juga, An-Nawawi, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, dan sekian ulama Syafi’iyyah lainnya, punya ikhtiyarat sendiri yang berbeda dengan pendapat mu’tamad madzhab Syafi’i, tapi mereka tetap Syafi’iyyah, karena mereka bertafaqquh mengikuti jenjang Syafi’iyyah, juga karena ushul dan qawa’id yang mereka pegang masih sejalan dengan ushul dan qawa’id yang mu’tabar dalam madzhab Syafi’i.
Meski harus diakui, bahwa dalam lingkungan satu madzhab atau satu madrasah pun, tetap ada perbedaan dalam sebagian rincian ushul fiqih atau qawa’id fiqhiyyah, namun lagi-lagi itu terekam secara baik, sehingga tak menimbulkan kerancuan.
Nah, inilah masalah ketika orang awam sejak awal belajar, sudah dibawa ke ranah tarjih. Apalagi didoktrin dengan “Ikut Al-Qur’an dan As-Sunnah”. Khawatirnya pendapat yang ia ikuti, tidak stabil sehingga menimbulkan kerancuan. Semisal dalam satu persoalan menggunakan mafhum mukhalafah sebagai dalil, sedangkan pada persoalan lain menolaknya tanpa alasan memadai. Atau, dalam satu bab, memakai qiyas dalam ibadah, sedangkan dalam kesempatan lain, menolaknya mentah-mentah.
BACA JUGA: Bermadzhab dalam Fiqih, Pentingkah?
Ini mungkin tak terlihat, jika hanya melihat hasil dari produk hukumnya. Tapi jika ditelusuri secara metodologis, sangat mungkin terdapat kerancuan.
Saya tak mengatakan, dalam lingkungan madzhab, kerancuan semacam ini tidak ada sama sekali. Masih mungkin ada, tapi kemungkinannya lebih kecil. Juga, karena tradisi madzhab sudah dikembangkan lebih dari seribu tahun, seringkali kelemahan di satu tempat, telah ditutupi oleh yang lain pada kesempatan berikutnya.
Wallahu a’lam bish shawab. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara