Oleh: Daud Farma
“AKU berangkat sekolah dulu ya, Pa. Assalamu’alaikum.” Rani pamitan pada papanya yang duduk di depan teras rumah, dengan secangkir kopi dan membaca koran.
“Ya, wa’alaikum salam.”
“Mama udah beri kamu uang saku?” tanya papanya.
“Sudah, Pa, 10 ribu.”
“Kemari,” kata papanya. Rani mendekat lalu papanya menambahi uang sakunya sepuluh ribu lagi.
“Kenapa ditambah lagi uangnya?” tanya Mama Rani.
“Untuk kali ini tidak-apa-apa,”
“Belajar yang rajin.”
“Ya, Pa.”
Lazimnya memang selalu diberi dua puluh ribu tiap paginya, kecuali hari libur. Hari libur Rani hanya dapat sepuluh ribu saja. Tapi pagi ini mamanya tidak memberi seperti biasanya, karena Rani telat bangun pagi. Tapi papanya tak lupa bertanya padanya. Bagi papanya, sepuluh ribu tidaklah cukup untuk membeli jajanan bagi anak kelas tiga sekolah dasar, seperti Rani.
Rani adalah anak yang rajin, penurut, dan sering sekali membikin mamanya senang ketika Rani menawarkan diri pada mamanya yang sedang sibuk di dapur: adakah yang bisa Rani bantu Mama?
Kebanyakan ibunya hanya membalas pertanyaannya dengan mencubit manja pipi Rani yang cantik. Uang sakunya tidaklah semuanya ia belikan jajanan di sekolah. Paling banyak hanya habis sepuluh ribu, kadang. Seringnya cuma lima ribu. Sisanya ia masukkan ke dalam celengan pribadinya. Dia juga sudah memberitahu ibunya bahwa lima ribu saja sudah cukup, tapi ibunya senantiasa memberinya dua puluh ribu rupiah.
Rani diantar mamanya naik mobil ke sekolah. Mamanya adalah ibu rumah tangga biasa, tapi pandai cari duit. Mamanya berdagang lewat online, punya onlineshop. Banyak sekali macam barang yang ia jual. Mulai dari kosmetik, pakaian, jilbab, sepatu dan pakaian perempuan lainnya. Hebatnya mamanya sudah memasang harganya pada setiap barangnya, jadi pembeli tidak dapat lagi menawar. Satu menit setelah diposting mamanya Rani dalam situs maupun sosial mendianya, puluhan pesan masuk pun menghampirnya dengan tujuan membeli barangnya. Bukan kah jauh lebih hebat dibandingkan pedangang di pasar? Tak perlu peluh keringat, tak perlu serak suara, dan tak perlu pula menutup telinga mendengar tawaran penurunan harga dari para pembeli yang begitu membunuh! Papa Rani adalah pekerja kantoran, orang berduit pastinya. Katanya pada mama Rani: aku tidak begitu minat korupsi.
Tak lama kemudian, Rani dan mamanya tiba di sekolah.
“Hati-hati ya cantik Mama.”
“Ya, Ma.” setelah salam cium Rani masuk lewat gerbang utama.
***
Bu Siti, sudah cukup senja usianya, enam puluh dua tahun. Bu Siti sengaja tidak mau masuk Panti Jompo, ia ingin hidup sendiri dan mandiri di sisa tuanya. Anak-anaknya? Sudah besar semua, sudah menikah, merantau dan tinggal di ibu kota. Meninggalkannya. Kadang setahun sekali mereka pulang menjenguknya pada hari lebaran. Berkali-kali Bu Siti diajak anaknya ikut bersama mereka, tapi Bu Siti tidak mau.
“Aku senang tinggal di sini, Nak.” Hanya kata itu yang dapat ia katakan pada anak-anaknya ketika mereka membujuknya. Rumah itu tak dapat ia tinggalkan, puluhan tahun sudah ia lalui bersama anak-anak dan sang suami. Kini suaminya sudah tiada, ia adalah janda, seorang nenek tua.
Aina, anak tetangganya, kelas dua SMP, yang sesekali menemani Bu Siti. Bercerita, mencabut rambut kepala Bu Siti yang gatal, dan tidur pun dengan Bu Siti. Aina adalah sahabat bagi Bu Siti. Meskipun Aina bukanlah cucu kandungnya, tapi ia sangat sayang sekali pada Aina.
Bu Siti tinggal di sebuah rumah kecil. Tetangganya hanya 3 rumah saja dan tidak terlalu berdekatan. Di belakang rumah Bu Siti ada sedikit tanah kosong bekas pembuangan tai kerbau setahun silam. Tanah itu bukan miliknya. Milik kedua orangtua Aina.
Biarpun sudah tua, Bu Siti masih kuat. Bu Siti bercocok tanam. Ia ingin menanam kacang buncis. Saban sore ia bekerja. Bu Siti membajak dengan cangkul kecilnya dan membersihkan rumput yang ada. Bu Siti tidak punya jadwal tertentu dalam bekerja, tak ada hari libur baginya. Dulu dia dan suaminya adalah pekerja keras.
Jam delapan pagi Bu Siti sudah ada di kebun kecilnya, dua jam bekerja ia pun istirahat. Menunaikan shalat dhuha lalu berhenti hingga dhuhur. Siang harinya Bu Siti istirahat. Tapi ia tidak bisa tidur siang. Lantas ia pun memakai topi koboinya yang dulu sering ia kenakan. Bu Siti membawa cangkul kecil itu dan bekerja di ladang mungilnya. Tidak sampai satu jam lamanya, ia merasa letih, lelah, penat, capek. Kemudian ia pun beristirahat. Hingga waktu ashar pun tiba.
Setelah menunaikah shalat ashar, ia kembali ke ladangnya yang tidak jauh dari rumahnya itu. Bu Siti mencangkul perlahan-lahan namun penuh yakin dan kepastian akan sebuah hasil panen yang memuaskannya. Bu Siti peluh keringat? Itulah yang membuatnya sehat dan kuat. Tangannya sakit? Lepuh? Sudah biasa. Bu Siti tidak pernah memegang pena. Cangkul sudah akrab baginya sejak muda.
Begitulah setiap harinya dilakukan Bu Siti. Hingga dua minggu kemudian, ia pun sudah bisa menanam bibitnya.
“Alhamdulillah,” lirihnya bahagia menyapu keningnya dengan kain yang melilit di pinggangya. Bu Siti sangat puas sekali dengan pekerjaannya.
Waktu terus berdetik, angin terus bertiup, air terus mengalir, jantung terus berdetak, usia makin berkurang, tenaga makin lemah, namun semangat Bu Siti tak pernah berubah.
Bu Siti tidak berhenti sampai di situ. Ia belum dapat tidur nyenyak dan malas-malasan. Malas bukanlah gaya hidupnya. Saban sore Bu Siti selalu menjenguk ladangnya. Bu Siti mesti menyiram tanamannya dan menjaga burung-burung agar tidak mampir di ladangnya. Burung maupun ayam senang sekali mengorek bibit yang ditimbun.
***
Enam puluh hari kemudian…
Sekarang tanaman buncis Bu Siti sudah bisa dipanen. Buah buncisnya gemuk-gemuk dan segar. Sebab di dalam tanah ladangnya itu adalah pupuk organik yang tersembunyi. Sejak Bu Siti mulai membajak, menanam, menyiram, membersihkan rumput di sekitar tanaman dan kini ia sudah bisa memanen, Bu Siti tak pernah libur mengunjungi usaha kecilnya. Selain dekat, ladang itu sudah ia anggap tempatnya mencurahkan kesunyian. Kalaulah tak bekerja, ia merasa bosan sekali tinggal di dalam rumah.
Setelah berkunjung pada sore itu, Bu Siti kembali ke rumah. Setelah shalat magrib Aina datang ke rumahnya. Bu Siti sangat senang sekali malam ini ada Aina tidur bersamanya.
“Kamu besok libur Aina?”
“Tidak, Nek,” jawab Aina. Bu Siti diam.
“Ada apa ya, Nek?”
“Besok sore mau bantu Nenek memanen buncis?,” Aina diam, senyum-senyum.
“Nenek beri upah.”
“Mau, Nek!”
“Nah, kalau begitu tidurlah agar cepat bangun pagi, pergi ke sekolah dan sorenya bantu Nenek memanen.”
“Ya, Nek.”
Tak lama Aina pun tidur pulas. Sementara Bu Siti masih berjaga, bukan main senangya ia besok adalah hari memanen buncis. Hasil jerih payanhya hampir tiga bulan belakangan ini. Tiba-tiba ia terkejut mendengar suara hujan menjatuhi atap rumahnya. Mulanya pelan kemudian deras, tapi tak ada angin kencang.
Ingin sekali Bu Siti keluar rumah dan pergi ke belakang untuk melihat ladangnya. Tapi lampu pun mati. Bu Siti tidak punya senter.
“Ya Allah, jadikanlah hujan ini pembawa berkah untuk tanamanku.” Bu Siti hanya bisa berdoa, ia berhusnuzhan pada keputusan Allah. Pukul sebelas malam Bu Siti pun tidur.
***
Sepulangnya dari sekolah pada siang harinya, Aina segera saja makan siang lalu ia pun pergi ke rumah Bu Siti yang sudah ia anggap seperti rumah nenek kandungnya.
“Eh Aina. Sudah pulang sekolah?” tanya Bu Siti sembari membukakan pintu.
“Sudah, Nek,” Aina masuk ke dalam.
“Nek, ayo memanen buncis.” Aina semangat.
“Sebentar lagi.”
“Sekarang saja, Nek.”
“Ini masih jam dua siang. Masih panas. Nanti setelah ashar kita gerak ya?” Aina mengalah lalu ia pun duduk.
***
Setelah shalat ashar, Bu Siti dan Aina segera ke kebun. Begitu rumput mulai terlihat tadi pagi Bu Siti sudah pergi melihat kebunnya, tak ada hal buruk yang terjadi pada tanamannya.
“Sayuran buncisnya cantik, Nek. Bersih dan besar.”
“Tadi malam waktu kamu tidur, hujan lebat Aina!”
“Oh, pantesan bersih sayuran buncisnya, Nenek. Halaman sekolahku juga ada genangan air. Ternyata hujan.”
Bu Siti dan Aina memanen dengan hati-hati sayuran buncisnya. Sambil panen Bu Siti mengajak Aina bercerita. Aina tampak begitu bahagia dan semangat, Bu Siti sumringah.
Begitu matahari hendak terbenam di ufuk barat. Bu Siti dan Aina sudah selesai memanen sayuran buncis untu pertama kalinya.
Bu Siti meletakkannya dalam baskom, meskipun sudah dicuci air hujan ia cuci lagi dengan bersih. Lalu malam harinya Aina turut membantu mengikatnya dengan karet gelang.
“Satu ikatan begini berapa Nenek jual?” tanya Aina.
“Sama seperti penjual yang lain, Aina. Sebesar ini sepuluh ribu. Nenek tau dari ibumu yang kemarin habis dari pasar membeli buncis sebesar ikatan yang kita buat ini.”
“Oh, tidak kemurahan, Nek?”
“InsyaAllah tidak Aina.”
“Oh ya Aina, besok kan hari minggu, mau ikut ke pasar dengan Nenek tidak?”
“Wah, mau, Nek. Aku mau.”
“Nah, sekarang tidurlah cucuku yang cantik.”
Malam itu Bu Siti bahagia sekali membayangkan besok pagi dia akan ke pasar. Sudah lama sekali ia tidak ke pasar. Ada rasa rindu yang selalu ia tahan-tahan. Rindu dengan suasana pasar.
***
Pagi sekali. Mama Rani bangun lebih awal. Memasak, menyapu, mengepel dan membersihkan seluruh isi rumah yang perlu ia bersihkan. Sejak dikurangi uang saku waktu itu, Rani sudah tidak terbiasa lagi telat bangun pagi. Begitu ibunya bangkit dari tempat tidur, Rani pun sadar dan membuka matanya, kendati susah ia bangkit dan duduk. Masih kantuk-kantuk, Rani ke dapur.
“Adakah yang bisa aku bantu, Ma?”
“Tidak ada sayang. Kamu cuci muka dulu, nanti kalau buburnya sudah masak Mama hidangkan ya?”
“Ya, Ma.” sahutnya sambil lalu, meskipun susah ia menaikkan bulu matanya.
Pukul setengah delapan pagi.
“Aku pergi dulu ya, Pa.”
“Uang sakumu sudah?”
“Sudah sepuluh ribu.”
“Kok cuma sepuluh ribu?”
“Ini kan hari minggu, Pa?”
“Oh, iya, Papa lupa. Terus kalian mau kemana?”
“Ke pasar.” jawab ibu Rani.
“Sini Papa tambahi 10 ribu lagi.” Rani mendekat dan meraihnya.
***
Bu Siti dan Aina sudah hampir sampai. Bu Siti membawa buncis di dalam baskom di atas kepalanya. Setengah jam lamanya dengan jalan kaki, Bu Siti dan Aina akhirnya sampai juga di pasar.
Sorak suara bising penjual bersaing.
“Ikan-ikan…” kata penjual ikan.
“Kwekk-kweek,” suara bebek.
“Sayang anak-sayang cucu,” suara penjual mainan.
“Cendol-cendol,” rayuan tukang cendol.
“Kring-kring,” Gombalan manis tukang eskrim.
“Tomat cabai-tomat cabai,” suara penjual tomat dan cabai.
“Dua kilo sepuluh ribu. Satu kilo 7 ribu,” terik jitu.
“Boleh nawar-tapi jangan menampar!” Penjual yang pernah kapok!
“Murah-murah-murah-meriah” pedagang yang putus asa karena belum laku. Dan ragam macam pedagang lainnya.
Bu Siti dan Aina mengambil posisi di pojokan. Di bawah terik matahari. Bu Siti memberikan kain penutup pada Aina.
“Buncis, Buk, buncis, Buk.” kata Bu Siti memulai.
Begitulah penjual, tidak langsung dihampiri konsumen.
Terkadang pembali lebih memilih mana yang sudah jadi langganannya. Sebagian pembeli memilih dan membandingkan mana yang lebih murah tapi kualitasnya bagus.
***
Rani dan mamanya sedang berada di tempat penjual ikan. Tadi mereka sudah banyak berkeliling dan membeli ini-itu. Tinggal membeli ikan dan sayuran. Sambil menunggu tukang ikan menimbang dua kilo gram ikan, mama Rani sempat membalas pesan masuk konsumen yang membeli barang online miliknya. Sementara Rani berdiri sambil minum cendol.
Setelah selesai membeli ikan, Rani dan mamanya hendak ke tempat jual sayur yang sudah jadi langganannya. Dan mama Rani melewati pojokan yang biasa ia lewati, rutenya memang dari situ ke tempat langganan biasanya. Baru kali ini mama Rani melihat pedagang buncis di pojokan tersebut. Pertama kali ia melihat buncis itu, ia bagaikan tersihir dan ingin sekali membelinya. Mama Rani adalah jagoannya memilih sayuran. Dari jauh pun ia tahu buncis mana yang lebih bagus dan segar.
“Buncisnya dijual, Nek?” tanya mama Rani.
“Ya dijual, Cu,” sahut Bu Siti senang. Akhirnya ada juga yang mau membeli buncisnya. Sudah serak suaranya dari tadi, tapi belum seorang pun yang membeli buncisnya.
“Berapa satu ikatan ini, Nek?”
“Sama seperti yang lainnya, Cu, sepuluh ribu.”
“Duh mahalnya, Nek. Biasanya lima ribu. Saya beli di sana juga lima ribu?” Tawar mama Rani sambil merayu dan berbohong. Padahal biasanya dia juga membeli di tempat langganannya memang sepuluh ribu.
“Ayolah, Nek, lima ribu. Kalau nenek kasih lima ribu saya ambil empat ikatan nih.” katanya lagi. Karena sudah lebih satu jam tak ada yang membeli, dan karena mama Rani mau membeli empat ikatan buncis sekaligus. Dengan sedikit berat hati Bu Siti menjualnya juga.
“Semuanya dua puluh ribu ya, Nek.” Kata mama Rani ketika memberikan uangnya.
Dua puluh ribu? Bukankah itu hanya uang saku Rani sehari yang tiap paginya?
Haruskah Bu Siti mengumumkan pada semua orang di pasar bahwa buncisnya seharga lima ribu agar ada yang mau membeli dan memborongnya?
Begitu mama Rani mulai beranjak, ia lupa menarik tangan Rani. Ia terus berjalan. Sementara Rani masih berdiri, memandang Bu Siti. Lalu ia berikan uang sakunya yang dua puluh ribu ke Bu Siti , kemudian Rani pun lari mengejar mamanya.
-Anak kecil memang tidak dewasa, tapi anak kecil masih memakai hati nuraninya- []
Sabtu pagi:
Kairo,10 Maret 2018.