BANYAK mitos yang beredar di sekitar kita yang muncul, tumbuh, dan berkembang menjadi sesuatu yang diyakini kebenarannya. Meskipun terkadang kebenaran itu dihasilkan oleh proses yang distortif, karena ilmu yang masih terbatas, tapi kesimpulan sudah harus dibuat. Proses ini tergolong berpendekatan deduktif, alias mencuplik sebuah kenyataan untuk menjelaskan seluruh proses yang terjadi.
Beberapa mitos yang terkenal di Indonesia adalah tentang “Masuk Angin”, “Kerokan”, dan “Angin Duduk”. Masuk angin sering diasosiasikan dengan kehujanan, begadang (kurang tidur), tugas malam, ataupun perubahan musim (cuaca). Sedangkan “kerokan” sering diasosiasikan sebagai sebuah upaya untuk “mengeluarkan” angin dari dalam tubuh. Sementara itu, “Angin Duduk” sering dihubungkan dengan kematian mendadak yang diduga tanpa sebab.
Apakah sebenarnya mereka itu? “Masuk Angin” adalah contoh yang paling mudah bahwa mitos ternyata ada benarnya sekaligus ada juga ketidaktepatannya. Penyebab “masuk angin” yang paling sering dikeluhkan adalah kehujanan.
Mari kita bayangkan, mengapa kehujanan alias terpapar air selama beberapa menit atau paling lama sekitar satu jam dapat menimbulkan demam, batuk, pilek, dan badan linu-linu? Bukankah itu gejala khas dari infeksi virus influenza? Apa hubungannya antara air hujan dan virus influenza? Apakah pada air hujan terdapat koloni virus influenza? Apakah di balik baju yang basah terdapat segerombolan virus yang siap menyerang? Tentu tidak.
Lalu, ketika usai kehujanan, sering pula beberapa diantara kita merasakan perut kembung, kemudian melilit, dan akhirnya mengalami diare. Apakah air hujan juga membawa bakteri perut? Apakah baju basah membuat bakteri jahat merembes menembus kulit dan otot? Tentu tidak. Namun, mengapa kita sakit setelah kehujanan?
Kemudian, apakah kita pernah berpikir bahwa para atlet pelatnas renang yang seharinya hampir 8 jam dalam kolam renang juga masuk angin? Bahkan, kita sendiri saat tengah berekreasi ke pantai atau berenang di kolam renang umum terkadang bisa berendam lebih dari 2 jam dan Alhamdulillah sehat-sehat saja. Padahal sama-sama air, kan? Mengapa bisa demikian?
Disiplin ilmu psikoneuroimunologi (PNI) menjelaskan bahwasannya Tuhan adalah sebagaimana prasangka hamba-Nya. Prasangka adalah dugaan atau persepsi kita. Persepsi kita adalah bentuk lain dari do’a. Saat tubuh kita didera air hujan yang sesungguhnya sangat baik dan tidak bermasalah sedikit pun, kita merasa sengsara dan merasa akan jatuh sakit karena termakan “hasutan” pikiran kita sendiri.
Dari mana datangnya “do’a” jelek atau hasutan itu? Dari informasi yang dicangkokkan ke dalam benak kita. Dari mana datangnya informasi itu? Dari sebuah pengetahuan yang diterima sebagai sebuah budaya. Dan budaya itu ditransmisikan secara turun-temurun. Lalu, kita meyakininya dan melegitimasi serta mencap sebagai sebuah kebenaran yang absolut. Dengan demikian, kita sudah berapriori buruk terhadap air hujan.
Konsep bahwa kehujanan akan membuat sakit dapat menciptakan teror kecemasan pada otak kita saat kita kehujanan. Saat cemas datang mendera, terjadi peningkatan kadar hormon kortisol, sehingga sistem pertahanan tubuh kita menjadi kendor.
Mahabenar Tuhan dengan segala firman-Nya. Tuhan menyatakan telah menciptakan semua makhluk dalam ukuran dan proporsionalitas. Ternyata, kecemasan dan ketakutan seorang manusia dibangun serta membangun sebuah kerajaan teror yang mempengaruhi semua sistem dalam tubuhnya. Penurunan aktivitas sistem pertahanan tubuh ini pada gilirannya akan mengakibatkan kuman atau virus yang tidak diundang memiliki potensi lebih besar untuk masuk dan bercokol di dalam tubuh kita. Tanpa kita sadari, justru ketakutan dan kecemasan kitalah yang mengundang mereka untuk “berpesta” dalam tubuh kita.
Dari mana mereka datang? Bisa dari lingkungan sekitar, dari orang lain yang kita jumpai, atau bahkan dari antrean virus di sekitar lubang hidung kita yang memang sudah menunggu-nunggu giliran untuk masuk. Sedangkan pada kasus diare atau sakit perut, kuman yang mengakibatkannya bisa saja merupakan bagian dari “rakyat kuman baik” yang selama ini kita pelihara serta hidup dalam harmoni pada sistem pencernaan kita.
Mereka menjadi tidak terkendali dan “over populasi” justru karena sistem pertahanan tubuh kita dilanda kecemasan dan lebih mementingkan keselamatan diri mereka masing-masing. Inilah sebuah gambaran indah tentang manifestasi dan aplikasi sebuah do’a. sebagai sebuah harapan yang sarat dengan praduga, do’a dikabulkan justru oleh sistem tubuh kita sendiri. Ajaib, bukan?
Bagaimana dengan “kerokan”? Kerokan sesungguhnya adalah suatu metode terapi yang telah teruji secara empiris. Jika tidak manjur, mengapa banyak orang terus saja melakukannya? Kerokan dapat digambarkan secara ilmiah sebagai salah satu upaya untuk menstimulasi atau merangsang sistem pertahanan tubuh melalui induksi radang lokal. Dengan adanya faktor peradangan, pembuluh darah akan melebar sesaat dan faktor-faktor pertahanan tubuh seperti interferon dan tumor nekrosis akan aktif.
Kondisi ini diharapkan akan membangkitkan ghirah sistem pertahanan tubuh untuk mengontrol keberadaan virus. Bahkan, jika virus tersebut dianggap telah membahayakan, sistem pertahanan tubuh yang terstimulasi tersebut dapat mengeliminasinya dan mendaur ulang virus tersebut untuk menjadi material biologis yang lebih bermanfaat.
Lalu bagaimana dengan fenomena “angin duduk”? sesungguhnya hal tersebut adalah gejala dari kondisi Infark Miokardium Akut, yaitu kelainan otot jantung yang terjadi dalam waktu singkat. Apa sebabnya? Antara lain karena kurangnya oksigen pada otot jantung sehingga banyak sel otot jantung yang mati.
Mengapa otot jantung bisa mengalami kekurangan oksigen? Karena pembuluh darah yang membawa darah kaya oksigen ke bagian-bagian otot jantung tersumbat. Mengapa pembuluh darah tersebut bisa tersumbat? Karena adanya pembentukan “bukit-bukit” di dinding pembuluh darah bagian dalam yang disebabkan oleh “terlukanya” dinding bagian dalam akibat derasnya laju aliran darah dan banyaknya radikal bebas, terutama yang berasal dari lemak jenuh.
Mengapa radikal bebas berbahaya bagi pembuluh darah? Karena sifat kimianya yang labil, radikal bebas cenderung mengambil sebagian elektron atau proton dari sel dinding pembuluh darah agar dirinya menjadi lebih stabil, akibatnya sel tersebut rusak. Proses kerusakan tersebut pada gilirannya akan mengundang sistem perbaikan. Namun, jika kerusakan itu terjadi secara berulang, penambalan yang terjadi akam “membukit”.
Karena penyumbatan itu terjadi pada pembuluh darah jantung yang bernama koroner, penyakitnya disebut sebagai penyakit jantung koroner. Jadi, “angin duduk” sebenarnya adalah bagian dari gejala penyakit jantung koroner.
Mitos yang tidak kalah seru dan lucu adalah upaya seorang wanita untuk tampil langsing dan kurus dengan mengurangi jumlah asupan makanan terutama yang berkalori tinggi adalah cara yang paling mujarab. Namun, kenyataannya tidak demikian. Para wanita yang berusaha menguruskan badan dengan cara mengurangi porsi makan secara “gila-gilaan” malahan jadi kegemukan!
Bagaimana hal itu bisa terjadi? Penjelasannya sederhana. Semakin kita terobsesi pada sebuah keinginan, akan semakin cemas dan khawatir pula kita tidak akan dapat menggapainya. Kondisi cemas ini menstimulasi hormon kortisol dan adrenalin, tubuh seolah mendapatkan peringatan tanda bahaya.
Sebagai respons kewaspadaan, tubuh akan berusaha dengan optimal untuk menyiapkan cadangan tenaga agar dapat mengantisipasi kemungkinan terburuk yang dapat terjadi. Upaya penyimpanan tenaga ini diwujudkan dalam langkah-langkah konkret “memeras” potensi kalori dari setiap makanan yang memasuki tubuh. Akibatnya, meski jumlah atau kuantitas makanan dikurangi, proses penyerapan karbohidrat dan lemak berlangsung dalam tingkat efisiensi tinggi. Walhasil, tubuh akan semakin gemuk. []
Diasuh oleh Oleh: Yudhistira Adi Maulana, Penggagas rumah sehat Bekam Ruqyah Centre Purwakarta yang berasaskan pengobatan Thibbunnabawi. Alamat: Jl. Veteran No. 106, Kebon Kolot Purwakarta, Jawa Barat, Telf. 0264-205794. Untuk pertanyaan bisa melalui SMS 0817 920 7630 atau PIN BB 26A D4A 15.