UNGKAPAN ‘Subhanallah’ dan ‘Masya Allah’ pastinya sudah sangat populer di kalangan muslim. Demikian juga di Indonesia. Dua ucapan ini kerap terdengar diantara obrolan atau percakap sehari-hari muslim di Indonesia.
Namun, tak sedikit orang yang masih salah dalam menempatkan dua kalimat ini. Dua kalimat ini punya makna yang berbeda, sehingga jika penggunaannya tertukar, maka maknanya pun menjadi tidak tepat.
Dua ucapan tersebut tak digunakan hanya untuk mengungkapkan kekaguman. Dalam kitab Tafsir Al Quranul Karim Surat Al Kahfi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menjelaskan, ‘Masya Allah’ bisa digunakan untuk dua keadaan dalam bahasa Arab atau ikrab, mengingat memang ada dua makna di dalamnya.
BACA JUGA: Kapan Ucapkan Masya Allah dan Subhanallah?
Ikrab yang pertama dari ‘Masya Allah’ adalah dengan menjadikan kata ‘maa’ sebagai isim maushul (kata sambung) dan berstatus sebagai predikat, dengan subjeknya adalah mubtada’ yang disembunyikan. Sehingga, bentuk lengkapnya adalah ‘hadzaa maa syaa Allah’ dan mengindikasikan sebab atau disebut maa syarthiyyah.
Sedangkan menurut ikrab kedua, ungkapan ‘Masya Allah’ adalah kata benda yang berstatus sebagai fi’il syarath atau kata kerja yang mengindikasikan sebab.
Mengutip Fatwa Nurun ‘alad Darbi Syaikh Abdul Aziz bin Baz, jika seorang mukmin saat melihat sesuatu yang membuatnya takjub, maka disarankan mengucapkan ‘Masya Allah’ atau ‘Barakallahu Fiik’.
Hal itu, juga tercantum dalam QS. Al Kahfi ayat 39.
وَلَوْلَآ إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَآءَ ٱللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِ ۚ إِن تَرَنِ أَنَا۠ أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا
Walau lā iż dakhalta jannataka qulta mā syā`allāhu lā quwwata illā billāh, in tarani ana aqalla mingka mālaw wa waladā
“Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.”
Maka, Masya Allah diucapkan saat memuji, sebagai bentuk kekaguman dan pengagungan kepada Allah untuk menghindari dampak buruk yang mungkin menimpa orang yang dipuji. Dampak buruk dari pujian ini biasanya dapat muncul akibat penyakit hati berupa hasad. ‘Masya Allah’ pun diucapkan ketika melihat suatu hal yang baik atau indah sehingga pujian terhadapnya tidak berdampak buruk.
BACA JUGA: Subhanallah, Inilah Keutamaan Surah Mu’awwidzatain
Sementara itu, untuk ‘Subhanallah’, Imam Nawawi dalam kitab Riyadh al-shalihin mengawalinya dengan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA. Menurutnya, Rasulullah SAW bersabda, “Dua kalimat yang ringan diucapkan, namun berat dalam timbangan serta dicintai Allah yang Maha Penyayang adalah Subhanallah wa bihamdihi, subhanallah al-Azhim.” (Muttafaqun ‘Alaihi disepakati oleh para ahli hadist).
Subhanallah berarti Mahasuci Allah. Subhanallah diucapkan saat mendengar atau melihat hal buruk. Ucapan ini sebagai penegasan “Allah Mahasuci dari keburukan tersebut”.
Namun demikian, ada kondisi di mana kata ‘Subhanallah’ juga diungkapkan oleh rasa kaget atas ancaman yang disebutkan oleh Allah kepada orang yang malas membayar utang. Dari Muhammad bin Jahsy ra, “Suatu saat, Rasulullah melihat ke arah langit dan kemudian bersabda, ‘Subhanallah, betapa berat ancaman yang diturunkan'”.
Demikianlah perbedaan ‘Masya Allah’ dan ‘Subhanallah’ serta penggunaannya. []
SUMBER: REPUBLIKA