SYARIAT Islam memberikan beberapa adab yang menjadikan jima’ itu bukan hanya sekadar kesenangan, tetapi juga menjadi ibadah tersendiri. Tentunya itu apabila dilakukan sesuai dengan adab-adabnya.
Di antara adab-adab berjima’ yang disunnahkan antara lain:
1. Basmalah
Membaca basmalah atau sering juga diistilahkan dengan tasmiyah disunnahkan untuk dibaca sebelum jima’ dimulai. Hal ini menunjukkan bahwa jima’ bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
Dalil yang menjadi dasar disunnahkannya membaca basmalah sebelum jima’ adalah firman Allah SWT :
نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُواْ لأَنفُسِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّكُم مُّلاَقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Isteri-isterimu adalah tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah : 223).
Bagian yang menjadi dalil dari ayat ini adalah lafadz wa qaddimu lianfusikum. Diterjemahkan menjadi “Dan kerjakanlah untuk dirimu.” Tetapi maksudnya adalah ucapkanlah tasmiyah sebelum memulai jima’ dengan istri.
Penafsiran ini dikemukakan oleh shahabat Nabi yaitu Ibnu Abbas radhiyallahuahu, sebagaimana bisa kita baca dalam Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Quran.
Bahwa lafadz waqaddimu lianfusikum maksudnya adalah tasmiyah atau membaca basmalah sebelum jima’ juga dikemukakan oleh Atha’.
Selain membaca basmalah, juga ada doa yang layak untuk dibaca berdasarkan sabda Rasulullah SAW, yaitu :
لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَال : بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا
Seandainya salah seorang kalian ketika akan mendatangi istrinya (berjima’) mengucapkan : Dengan nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkan setan dari apa yang Engkau berikan kami dari rizqi, seandainya ditaqdirkan dari jima’ itu seorang anak, maka setan tidak bisa membahayakan anak itu selamanya. (HR. Bukhari Muslim).
2. Tidak Menghadap Kiblat
Para ulama menyarankan sebagai bentuk pemuliaan kepada Ka’bah, maka sebaiknya kita tidak melakukan jima’ sebaiknya dengan menghadap kiblat.
Hal itu tertuang dalam beberapa kitab para ulama di masa lalu, semisal kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Jawahirul Iklil, Al-Mughni, Kasysyaf Al-Qina’, Ihya’ Ulumuddin, dan lainnya.
Barangkali dalilnya adalah qiyas antara jima’ dengan buang air, yang dianjurkan untuk tidak menghadap atau membelakangi kiblat.
عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ الله قَالَ : إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ لِحَاجَتِهِ فَلاَ يَسْتَقْبِلُ القِبْلَةَ وَلاَ يَسْتَدْبِرُهَا رواه أحمد ومسلم
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda”Bila kamu mendatangi tempat buang air janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya. “(HR. Bukhari dan Muslim)
عنَ أبِي أَيُّوبَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لا تَسْتَقْبِلُوا اَلْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ وَلا بَوْلٍ وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
Dari Abu Ayyub radhiyallahuanhu”Janganlah menghadap kiblat saat kencing atau buang hajat tetapi menghadaplah ke Timur atau ke Barat,” (HR. Sab’ah).
3. Diawali dengan Percumbuan
Syariat Islam menganjurkan agar dalam melakukan jima’ tidak langsung kepada hubungan badan, melainkan diawali terlebih dahulu dengan percumbuan (mula’abah), mencium (taqbil), dan sentuhan-sentuhan.
Tidak ada dasarnya hadits yang kuat dan bisa dijadikan sandaran, kecuali sepenggal hadits dhaif berikut ini :
نَهَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمُوَاقَعَةِ قَبْل الْمُلاَعَبَةِ
Rasulullah SAW melarang melakukan jima’ sebelum mula’abah.
Mula’abah secara bahasa berarti bermain-main, dari kata la’iba – yal’abu (لعب يلعب), tapi maksudnya adalah permainan yang menjadi pembuka atau pemanasan dari hubungan suami istri. Sering juga disebut dengan istilah foreplay.
4. Tidak Selesai Sendirian
Sangat dianjurkan bagi pasangan suami istri yang melakukan jima’ untuk mencapai orgasme bersama, atau setidaknya tidak meninggalkan pasangannya kecuali setelah sama-sama mendapatkan puncak kenikmatannya.
Dan hal itu merupakan anjuran yang dijelaskan di dalam salah satu hadits nabi :
إِذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَصْدُقْهَا، ثُمَّ إِذَا قَضَى حَاجَتَهُ قَبْل أَنْ تَقْضِيَ حَاجَتَهَا فَلاَ يُعْجِلْهَا حَتَّى تَقْضِيَ حَاجَتَهَا
Bila salah seorang dari kalian melakukan jima’ dengan istrinya, maka lakukan dengan sungguh-sungguh. Bila sudah terpuaskan hajatnya namun istrinya belum mendapatkannya, maka jangan tergesa-gesa (untuk mengakhirinya) kecuali setelah istrinya mendapatkannya juga. (HR. Ahmad)
5. Memakai Penutup
Sebagian ulama menganjurkan agar ketika suami istri sedang melakukan jima’ untuk menggunakan penutup, dan tidak telanjang bulat alias bugil.
Namun tidak semua ulama sepakat akan larangan itu, lantaran dasar anjuran ini hanya didasari oleh hadits yang kurang kuat alias hadits dhaif, yaitu :
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ وَلاَ يَتَجَرَّدَا تَجَرُّدَ الْعَيْرَيْنِ
Bila salah seorang dari kalian mendatangi istrinya (melakukan jima’) maka gunakan penutup dan janganlah kedua bertelanjang bulat. (HR. Ibnu Majah).
Oleh karena itu kita menemukan juga pendapat yang berbeda dari para ulama tentang tidak adanya keharusan penggunakan penutup pada saat berjima’. Salah satu yang membolehkan adalah Ibnu Al-Qasim dalam Kitab Adz-Dzakhirah.
6. Tidak Banyak Bicara dan Tidak Berisik
Dianjurkan buat suami istri ketika melakukan jima’ untuk tidak banyak bicara dan tidak melakukannya dengan berisik.
Dimakruhkan apabila sampai suara mereka terdengar orang lain, kecuali bayi yang masih kecil dan belum mengerti apa-apa. Meski pun keduanya tidak merasa risih, namun hal seperti itu tetap harus dihindari.
Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Asy-Syafi’i dan Al-Hanabilah.
7. Mencuci Kemaluan dan Berwudhu Bila Mengulangi
Dianjurkan apabila suami istri setelah melakukan jima’ akan mengulanginya lagi, untuk mencuci atau membersihkan kemaluannya, lalu berwudhu kembali.
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُودَ فَلْيَتَوَضَّأْ
Bila salah seorang dari kalian mendatangi istrinya (melakukan jima’) dan ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah dia berwudhu’, (HR. Muslim).
Bahkan kalau mau lebih afdhal, dianjurkan untuk mandi janabah terlebih dahulu, meski pun tentunya bukan merupakan kewajiban atau syarat. Sebab Rasulullah SAW pernah menggilir para istrinya dengan satu kali mandi janabah.
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ بِغُسْلٍ وَاحِدٍ
Dari Anas radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW pernah menggilir para istrinya dengan sekali mandi janabah.(HR. Muslim).
Namun bila tidak keberatan dan mau dapat yang lebih afdhal, tidak mengapa bila setiap kali melakukan jima’ dengan salah seorang istri, diakhiri dengan mandi janabah. Sebab yang seperti itu pun juga pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.
عَنْ أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَافَ ذَاتَ يَوْمٍ عَلَى نِسَائِهِ يَغْتَسِل عِنْدَ هَذِهِ وَعِنْدَ هَذِهِ . فَقُلْتُ لَهُ : يَا رَسُول اللَّهِ ! أَلاَ تَجْعَلُهُ غُسْلاً وَاحِدًا ؟ قَال : هَذَا أَزْكَى وَأَطْيَبُ وَأَطْهَرُ
Rasulullah SAW pernah menggilir para istri beliau para suatu hari, tiap selesai dengan yang satu beliau mandi. Aku bertanya,”Ya Rasulullah SAW, tidak cukupkah mandi sekali saja?”. Beliau SAW menjawab,”Ini lebih bersih dan lebih suci”. (HR. Abu Daud). Wallahu a’lam. []