SUATU hari, batu bara dan intan ditemukan dalam sebuah tambang yang sama. Keduanya terbuat dari karbon, tetapi sebongkah kecil batu bara itu sangat hitam dan hampir tak bernilai. Sedangkan secuil intan bercahaya gemilang dan teramat tinggi harganya.
Menyadari ketidak bernilaiannya, batu bara berkata kepada intan, “Hai intan, kau dipercaya dengan kemuliaan yang abadi. Kita adalah teman. Keberadaan kita adalah sama, dan sumber wujud kita pun sama. Tapi, selagi aku sedih dengan ketidakberhargaan, kau sangat berharga sampai-sampai dipasang di mahkota kaisar. Aku begitu tidak berharga, sehingga nilaiku bahkan lebih rendah daripada debu. Kau berharga, kecantikanmu adalah hati yang sangat menarik.
“Nasibku terletak pada pembakaran dan diubah menjadi debu untuk diinjak kaki orang-orang. Nasibku paling patut dikasihani. Aku hanyalah asap yang dipadatkan, dan ketika aku hangus karena satu percikan api, aku berubah menjadi asap. Memang kita berbeda. Dalam bentuk saja aku seperti tanah, sedangkan kau seperti bintang. Dari setiap sisi, kau memantulkan pancaran cahaya yang berkilauan. Kadang-kadang, kau menghiasi seorang gadis canti; kadang-kadang kau dihargai seorang raja. Tentu saja, kemalangan adalah milikku dan kemuliaan adalah milikmu.”
Mendengar ratapan itu, intan berkata, “Teman baikku, aku akan ceritakan padamu, mengapa ada perbedaan di antara aku dan kamu. Tanah hitam yang dikeraskan memiliki martabat sebagai mata cincin. Dengan perjuangan melawan lingkungannya, tanah itu menajdi keras seperti batu.
“Karena kematangan dan kekerasan itulah, aku memperoleh sifat pancaran. Kau lembut, kau belum berjuang, dan dalam ketiadaan perjuangan seperti itu, kau tetap belum matang. Ketidakmatangan adalah penyebab kerendahan dirimu. Kau hangus karena kau lembut dan mudah terbakar. Aku tidak terbakar karena aku keras dan bersinar. Aku sudah berjuang dan menang. Sebaliknya, kau belum berjuang dan masih tinggal diam.”[]
Referensi: Dream anda Pray/Karya: @Doaindah/Penerbit:QultumMedia