MYRIAM Horsten adalah seorang dokter. Bertahun-tahun dia menekuni bidang khusus kesehatan jantung. Dan bertahun-tahun pula dia harus sering berduka menyaksikan pasiennya kehilangan nyawa.
Namun, ada yang menarik perhatiaannya di situ; daya tahan terhadap serangan jantung ternyata tidak berhubungan langsung dengan pola makan, gaya hidup bahkan tingkat tekanan ketika mereka menghadapi persoalan dalam kehidupan masyarakat.
Aneh. Justru orang-orang yang lebih lemah daya jantungnya ini adalah orang-orang yang tinggal menyendiri dengan tenteram, jarang menghadapi persoalan pelik kehidupan dan mereka menjalani hari-harinya dalam kemapanan serta nyaris tanpa hambatan.
Alur kehidupan mereka boleh dikatakan datar. Sehingga hal ini membuat Horsten penasaran dan akhirnya ia mengadakan sebuah penelitian.
Bersama para koleganya dari Karolinska Institute, Stockholm, Swedia, Horsten mengukur dan merekam detak jantung 300 orang wanita sehat selama 24 jam. Demikian dilakukan berulang-ulang secara periodik, selama bertahun-tahun.
Penelitian juga dilakukan terhadap teman-teman wanita ini, sekaligus diusahakan untuk memperoleh gambaran tentang seberapa tinggi tingkat kemarahan dan depresi mereka.
Horsten dan timnya tertarik pada apa yang disebutnya sebagai variabilitas detak jantung. Ini adalah suatu tolok ukur untuk mengetahui perubahan detak jantung yang terjadi selama periode seharian penuh.
Hasil penelitian bertahun-tahun itu awalnya mengejutkan; orang yang sehat dan berjantung kuat justru adalah mereka yang memiliki rentang variabilitas detak jantung yang tinggi. Bahkan rentang itu sangat lebar. Artinya, detak jantung mereka sangat variatif.
Sangat jelas tergambar, bahwa orang-orang yang aktif dan banyak terhubung dengan sesama manusia dalam sehari mengalami berbagai guncangan emosi; mereka tertawa, bersemangat, bergairah, tapi juga marah.
Mereka frustasi, berelaksasi, bersedih, tegang, tersenyum, takut, cemas, optimis, tercerahkan. Kesemua hal yang sangat emosional dan dipicu dari hubungan-hubungannya dengan sesama ini mempengaruhi berbagai hormon, utamanya adrenalin yang turut serta mengatur ritme kerja jantung.
Bukankah dengan demikian justru jantung bekerja keras? Ya. Dan jika ia bekerja keras, maka jadilah ia mudah sakit? Justru sebaliknya. “Jantung dalam kondisi semacam ini,” kata Myriam Horsten, “Adalah jantung yang berolahraga. Jantung ini menjadi terlatih dan kuat. Jantung ini adalah jantung yang sangat sehat.”
Dan sebaliknya, jantung orang yang kehidupannya datar-datar saja, tenteram dan lebih-lebih sangat kurang interaksi sosialnya memiliki variabilitas detak yang sangat kecil. Akibatnya, jantung mereka menjadi jantung yang lemah terhadap suatu serangan.
Jadi bagaimana caranya menguatkan jantung kita? “Gampang,” kata Myriam Horsten. “Perbanyaklah hubungan dengan sesama, perkaya getar-getar emosi bersama mereka, lakukan hal-hal yang variatif dalam kehidupan dan cobalah tantangan-tantangan baru!” []
Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah/Karya: Salim A. Fillah/Penerbit: Pro-U Media Yogyakarta