Oleh: Asa Mulchias
SUATU malam, lelaki itu mengaku: ada seorang muslimah yang amat ia damba. Tidak begitu cantik, ia bilang—seraya menunjukkan fotonya. Tapi, dia merasa telah menemukan “kemistri” dengan gadis berjilbab lebar-panjang itu. Dalam interaksi mereka. Dalam tahun-tahun selama ia mengenalnya.
“O, jadi ente selama ini nunda nikah karena dia?” tanya saya, berkesimpulan. Sudah lama bujang ini saya motivasi, cengar-cengir doang jawabannya.
Dia mengaku. Ya, muslimah itu penyebabnya.
“Ane sudah lama ngincar dia.”
Berarti sudah kasih statement mau melamar? Lelaki itu diam saja. Menggeleng pun tidak. Sejurus berikutnya, dia mengungkap apa yang terjadi di masa silam.
Bahwa sekali, ia pernah bilang ingin serius dengan sang perempuan. Tapi, baru itu saja aksinya. Belum ada lebih dari itu. Tidak ta’aruf. Tidak pula menemui walinya.
Kenapa?
“Ane nggak punya dana buat nikah.”
Saya ingat, beberapa bulan lalu, ikhwan ini masih menganggur. Cukup lama pula, setelah kontrak dari perusahaan sebelumnya selesai. Meski begitu, ia sudah punya niat mengumpulkan uang. Semua untuk menikahi si akhwat, walau usianya lebih senior. Dari usianya. Dari usia saya juga.
Kini, hatinya sedang remuk. Si akhawat baru saja dipinang ikhwan lain. Dia tahu itu ketika ia dapat undangan pernikahannya. Pada saya, si ikhwan mengatakan: tak berniat datang ke resepsi. Dadanya sakit. Rasanya dia tak sanggup melihat akhawat incarannya duduk di pelaminan dengan laki-laki lain.
“Tapi ente kan diundang. Kalau tidak ada alasan syar’i, ente harus datang.”
“Nggak, ah. Ane nggak mau!”
Saya tepuk pundaknya, bilang pelan-pelan. “Ente datang untuk memenuhi kewajiban sesama muslim. Lagipula, ini semua kan salah ente. Buat apa ente incar dia, tapi anak panahnya nggak pernah dilepas?”
Soal dana, lanjut saya, sudah banyak yang membuktikan. “Adek kelas ane nikah rata-rata nggak punya tabungan. Yang paling penting itu mental. Kalau mentalnya udah siap, pasti Allah bantu.”
Kisah lelaki itu mengingatkan saya kembali dengan nasihat salah satu dosen saya di Al-Manar, Ust. Asron Khalifah. Suatu sore, kami mengobrol ringan sebelum kelas dimulai. Nostalgia masa-masa perjuangan bisa menikah, padahal nggak punya apa-apa. Beliau bilang: “Nyemplung aja dulu.”
“Nyemplung? Maksudnya, Ustadz?”
Iya, kalau mau merit, nyemplung aja dulu. Jalani proses ME-NU-JU pernikahan. Cari calon bini, ta’arufi dengan benar, datangi walinya. Jangan ribet sendiri, mikirin ini-itu.
“Walau nggak punya uang?”
Iya.
“Nggak punya tabungan?”
Iya.
“Nggak punya kerjaan tetap?”
Iya, yang penting tetap berpenghasilan.
“Ah, itu sih, bunuh diri!”
Sebenarnya “capek” bilangin: sama Allah, jangan hitung-hitungan. Nikah itu, yang paling utama:
1. Niat tulus mengikuti sunnah Rasul.
2. Menjaga diri dari perzinaan.
3. Siap menghadapi masalah yang mungkin merintang selama proses.
Udah, itu aja. Soal dana, nanti ada kok. Ada.
“Mana?”
“Ya, nyemplung dulu. Nanti ada kok.”
“Masa sih? Bukannya nabung dulu lebih bagus?”
Meh. Kita tahu betul: yang sering kejadian, bujangan itu bokek melulu. Uangnya nggak kekumpul-kumpul. Habis buat ini. Habis buat itu. Umur tambah tua, alasannya tetap sama: Nabung dulu.
Tapi begitu mantap mau nikah, walau kondisi pas-pasan, eh tahu-tahu duitnya ada. Ngalir deras ke kantong. Biaya konsumsi, undangan, tempat, kostum, semuanya kekumpul. Kok bisa begitu ya?
Nggak aneh, kok. Logika aqidah-nya memang masuk akal:
Buat apa juga bujangan luntang-lantung diberi rezeki banyak, padahal dia sendiri nggak yakin bisa nikah?
Allah memberi rezeki sesuai kebutuhan, bukan keinginan kita. Itulah sebabnya: sangat sangat maklum bila rezeki bujangan cuma cukup untuk hidup sendiri. Bakal beda ceritanya jika mereka betul-betul niat dan gigih mencari jalan menikah. Insya Allah, rezeki akan Allah tambah. Dari rezeki bujangan jadi rezeki orang mau nikah.
Mau nikah?
Ingat rumusnya baik-baik: nyemplung aja dulu!
Tanya tuh, yang udah berhasil merit. []