SUATU hari ada seorang anak perempuan yang mendatangi ayahnya dan mengeluhkan tentang kehidupannya yang sulit. Rasanya ia sudah mau menyerah saja, sebab setiap satu masalah yang dihadapi selesai, masalah lainnya muncul.
Ayahnya yang kebetulan seorang koki, membawa anaknya itu ke dapur. Lalu ia menyalakan tiga buah tungku masak. Kemudian, tiga buah panci berisi penuh air diletakkan di atas masing-masing tungku itu. Lantas dimasukkannya 3 jenis barang ke dalam masing-masing panci tersebut. Panci pertama diisi wortel, panci kedua diisi telur, dan panci ketiga diisi biji-biji kopi. Berikutnya anak dan bapak tersebut duduk dan diam sambil mengamati api tungku yang mulai menjilati dan memanaskan panci-panci itu.
Setengah jam kemudian air yang berada di dalam ketiga panci tersebut mendidih. Anak perempuan itu mulai tidak sabar, apa selanjutnya yang akan dilakukan oleh ayahnya. Si ayah lalu mematikan semua tungku dan menaruh wortel, telur dan biji-biji kopi ke dalam mangkok yang berbeda yang telah disiapkan sebelumnya.
Lalu bertanyalah sang ayah kepada anaknya itu, “Putriku, apa yang kamu lihat?”
“Wortel, telur serta kopi!” jawab si anak.
Dengan tersenyum si ayah lalu meminta anaknya untuk mencicipi masing-masing benda tersebut. Mula-mula ia meminta anaknya memegang wortel yang telah masak. Wortel itu kini telah menjadi lembut dan lembek. Lalu si anak diminta memecahkan telur yang telah mengeras karena matang. Tak lupa si anak pun kemudian diminta mencicipi air rebusan kopi.
Setelah melakukan apa yang dikatakan oleh ayahnya, bertanyalah anak itu kepada sang ayah, “Apa arti semuanya ini ayah?”
Ayahnya lantas menjelaskan perbedaan ketiga benda tersebut dalam memberikan reaksi terhadap situasi yang sama. Bahwa baik wortel, telur maupun biji kopi ditempatkan dalam kesulitan yang sama, yakni air yang mendidih karena mendapat panas. Namun reaksi ketiganya berbeda antara satu dengan yang lain.
Di saat wortel dimasukan ke dalam air kondisinya keras, namun setelah dipanaskan ia menjadi lembek. Sebaliknya telur yang dimasukkan air yang sebelumnya dalam kondisi mudah pecah, setelah dipanaskan berubah menjadi begitu keras. Lain lagi ceritanya dengan biji kopi. Kondisinya tidak berubah baik sebelum dimasukkan kedalam air ataupun sesudah dimasukkan ke dalam air, namun hebatnya ia membuat air yang menyelimutinya menjadi hitam dan beraroma kopi sehingga menggoda orang untuk mencicipinya.
“Seperti yang manakah dirimu saat menghadapi kesulitan hidup? Wortel, telur atau kopi?” tanya ayahnya sekali lagi dengan wajah tersenyum.
Wortel diibaratkan seperti orang yang hatinya keras, mempunyai kekuatan dan mempunyai rasa percaya diri yang baik. Namun setelah mengalami berbagai kesulitan dan hambatan ternyata ia menjadi lembek dan mudah patah. Ia berubah menjadi khawatir, takut dan frustasi. Semua itu membuatnya menyerah kepada keadaan.
Telur adalah orang yang mulanya kurang berani, khawatir, kurang yakin bahkan merasa tidak mampu. Namun kesulitan-kesulitan akhirnya mendidiknya menjadi semakin tegar dan kuat. Ia berubah menjadi percaya diri, lebih optimis dan berani. Sementara itu biji kopi adalah lambang orang yang memiliki kemantapan diri. Dalam situasi sulit dan tertekan ia justru menunjukkan kualitas dirinya. Ia bahkan mampu memberi warna dan bahkan menentukan kondisi disekelilingnya.
“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, maka sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran, melainkan orang-orang yang berakal,” (QS. Al Baqarah (Sapi) 2:269). []