SETIAP tahun, perayaan maulid Nabi ﷺ selalu saja menuai pro dan kontra. Ada pihak yang membolehkan, ada juga yang melarangnya dengan mengatakan bahwa hal itu adalah perkara bid’ah. Sedari dulu, para ulama memang berbeda pendapat terkait hal ini. Maka seharusnya kita lebih bisa berlapang dada terhadap saudara seiman yang berbeda pendapat.
Anggota Pusat Fatwa Internasional Al-Azhar Syekh Abdul Qadir al-Tawil menjelaskan terkait dalil dibolehkannya merayakan Maulid Nabi ﷺ. Beliau pun menunjukkan dalil tentang bolehnya memperingati Maulid Nabi ﷺ.
Dari Abu Qatadah al-Anshari, dia berkata, Nabi ditanya tentang puasa di hari Senin. Beliau ﷺ menjawab, “Itu adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus menjadi Rasul, atau diturunkan kepadaku (wahyu).” (HR Muslim)
BACA JUGA: Maulid Rasulullah, Momen Berharga Bersama Rasulullah ﷺ
Terlepas dari hal itu, al-Taweel menambahkan hal yang tepat dalam memperingati Maulid Nabi ﷺ adalah menghidupkan malam dengan Alquran dan berzikir. Dia mengatakan Rasulullah ﷺ biasa merayakan hari lahirnya dengan berpuasa setiap Senin. Selain itu, Nabi ﷺ juga merayakan puasa Asyura untuk merayakan pembebasan Musa AS dari Firaun.
Dalam rangka menyambut Maulid Rasulullah ﷺ, mungkin ada baiknya jika kita mengingat kembali tentang sisi kehidupan Nabi ﷺ. Nabi Muhammad juga manusia biasa yang sebetulnya juga memiliki sisi yang humoris. Ini sebagaimana sebuah kisah yang memuat sisi humor Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Tirmidzi.
Suatu ketika, seorang nenek mendatangi Nabi dan berkata, “Wahai Nabi, mohonkanlah kepada Allah SWT supaya aku dimasukkan ke surga.” Lalu Nabi menjawab,” Wahai ibunya si fulan, di surga tidak ada orang tua renta seperti engkau.” Lalu nenek tersebut berpaling sambil menangis.
Kemudian Nabi ﷺ berkata kepada sahabat, “Sampaikanlah (kepada nenek tersebut) bahwa dia tidak akan masuk surga dalam keadaan tua renta. Karena Allah SWT berfirman, ‘Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) secara langsung, lalu Kami jadikan mereka perawan-perawan’ (QS Al-Waqi’ah ayat 35-36). Artinya, ketika dia masuk surga, Allah akan mengembalikan kemudaan dan kecantikannya.” (HR Tirmidzi)
Ulama berikutnya yang berpendapat mengenai maulid Rasulullah ﷺ adalah Imam As-Suyuti. Beliau menjelaskan, perayaan maulid adalah bid’ah hasanah karena biasanya diisi dengan perbuatan-perbuatan baik, seperti membaca Alquran, hadist dan berkumpul bersama saudara Muslim lain.
“Menurutku bahwa perayaan Maulid Nabi ﷺ dengan cara berkumpulnya sekelompok manusia, membaca Alquran, membaca hadits Nabi, kemudian dihidangkan makanan untuk para hadirin maka ini termasuk perbuatan bidah hasanah yang pelakunya mendapatkan pahala. Sebab dalam perayaan tersebut ada unsur mengagungkan Nabi SAW, menampakkan kebahagiaan dan senang dengan kelahiran Nabi ﷺ.”
Sementara itu, Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani mengakui bahwa kegiatan yang berlangsung tahunan ini merupakan perkara bid’ah. Namun, kata beliau, jika pelaksanaannya dilakukan dengan kegiatan baik dan menghindari amalan yang mengandung dosa, maka Maulid Nabi merupakan bid’ah hasanah (perkara baru yang baik).
Berbeda dengan beberapa pendapat ulama di atas, Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa maulid Rasulullah ﷺ adalah bid’ah yang tidak dianjurkan untuk dilakukan seorang Muslim. Hal ini karena perayaan ini tidak diajarkan dalam syariat baik di Alquran dan hadist.
“Melakukan sesuatu kebiasaan selain kebiasan syar’i seperti menghidupkan malam maulid Nabi ﷺ, malam bulan Rajab, bulan Dzulhijjah, hari Jumat awal bulan Rajab adalah termasuk bidah yang tidak dianjurkan ulama salaf untuk melakukannya.”
BACA JUGA: 4 Amalan Untuk Memperingati Maulid Rasulullah ﷺ
Senada dengan Imam Ibnu Taimiyah, Syekh bin Baaz pun menilai bahwa perayaan maulid Rasulullah ﷺ ini merupakan bid’ah yang tidak boleh dilakukan. Beliau beralasan, Nabi Muhammad ﷺ pun dahulu tidak pernah melakukannya. Generasi seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali juga tidak pernah melakukannya.
“Perayaan Maulid Nabi ﷺ hukumnya bidah. Tidak boleh melakukannya menurut pendapat shahih dari ulama. Sebab Nabi ﷺ dan para sahabat tidak pernah melakukannya. Begitu juga generasi terbaik setelah mereka. Perayaan Maulid Nabi ﷺ baru muncul pada masa kejayaan syiah. Maka tidak boleh taqlid Kepada perbuatan syiah.”
Itulah beberapa pendapat para ulama mengenai hukum boleh atau tidaknya melakukan perayaan maulid Nabi ﷺ. Semoga kita tetap bisa saling menghargai dan menghormati meski memiliki perbedaan pendapat dalam hal ini. Wallahu a’lam. []