TELAH diriwayatkan dari sahabar Umar bin Khatab – radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya mayit akan disiksa dengan tangisan keluarganya kepadanya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Hadis di atas menjadi salah satu hadis musykil bagi banyak orang. Karena bagaimana seorang yang telah meninggal dunia akan mendapatkan siksaan karena perbuatan orang yang masih hidup. Kemusykilan ini wajar terjadi pada kita, karena Aisyah – radhiallahu ‘anha – saja sebagai istri Nabi ﷺ, awalnya juga mengingkari hadis ini. Bahkan beliau sempat menyatakan bahwa periwayatan hadis ini telah terjadi kesalahan. Tidak mungkin Nabi mengucapkannya karena bertentangan dengan firman Allah Ta’ala : وَلَا تزر وازرة وزر أخرى : “Seorang tidak akan menanggung dosa orang lain.”
BACA JUGA: Apa yang Terjadi pada Tubuh Kita di Kuburan
Para ulama berselisih dalam memahami makna hadis di atas menjadi menjadi empat pendapat. Yang paling kuat, adalah yang menyatakan bahwa : “Maksud hadis di atas adalah bagi seorang yang berwasiat kepada keluarganya untuk menangisi dengan suara yang keras serta diiringi dengan ratapan-ratapan ala jahiliyyah, lalu keluarganya menunaikan wasiat tersebut.” Dimana hal ini (wasiat dengan hal seperti ini) termasuk adat/kebiasaan orang Arab waktu itu. Dalam kondisi ini mayit disiksa, karena perbuatan itu terjadi atas sebab dia, sehingga dinisbatkan kepadanya. Dalam kata lain, mayit punya andil besar dalam terwujudnya perbuatan mungkar tersebut.
Jadi, hadis di atas walau teksnya bersifat mutlak, namun harus dibawa kepada makna “adat/kebiasaan” orang Arab waktu itu. Karena nabi mengucapkan hadis di atas untuk menanggapi kebiasan orang Arab yang berjalan waktu itu. Dengan demikian, makna hadis di atas selaras dengan ayat : “Seorang tidak akan menanggung dosa orang lain.” Dan ini wujud keadilan Allah terhadap hamba-Nya. Dimana tidak mungkin seorang akan disiksa dengan sesuatu yang tidak pernah dia lakukan, atau dia tidak punya andil dalam terjadinya perkara tersebut. Oleh karena itu, sekedar tangisan biasa, atau tangisan keras dan ratapan tapi bukan dari wasiat mayit, atau yang semisalnya, maka tidak termasuk kandungan hadis di atas.
Imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) berkata :
فَتَأَوَّلَهَا الْجُمْهُورُ عَلَى مَنْ وَصَّى بِأَنْ يُبْكَى عَلَيْهِ وَيُنَاحَ بَعْدَ مَوْتِهِ فَنُفِّذَتْ وَصِيَّتُهُ فَهَذَا يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ وَنَوْحِهِمْ لِأَنَّهُ بِسَبَبِهِ وَمَنْسُوبٌ إِلَيْهِ… وَالصَّحِيحُ مِنْ هَذِهِ الْأَقْوَالِ مَا قَدَّمْنَاهُ عَنِ الْجُمْهُورِ
BACA JUGA: Ketika Kubur Berkata pada Jenazah
“Jumhur (mayoritas ulama) mentakwil hadis di atas kepada orang yang berwasiat untuk ditangisi dan diratapi setelah kematiannya, lalu wasiat tersebut ditunaikan. Orang yang seperti ini akan disiksa dengan tangisan dan ratapan keluarganya kepadanya. Karena hal itu terjadi disebabkannya sehingga dinisbatkan kepadanya…..Dan yang benar dari seluruh pendapat ini adalah apa yang telah kami kemukakan dari pendapat jumhur.” [syarh Shahih Muslim : 6/228-229].
Pelajaran dari pembahasan ini, ternyata untuk memahami suatu hadis tidak bisa kita hanya mengandalkan dzahir sebuah teks saja (tekstual). Ini sebuah perkara yang berbahaya. Akan tetapi harus dikembalikan kepada para ahlinya, yaitu para ulama ahli ijtihad. Haram hukumnya bagi orang awam macam kita ini untuk mengakses dalil secara langsung, apalagi sampai membuat kesimpulan hukum darinya. Wallahu a’alam bish shawab. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani