Oleh: M Anwar Djaelani,
Aktivis MIUMI Jawa Timur
BANYAK yang merasa diuntungkan oleh keberadaan media sosial (medsos). Contoh sisi baiknya, hubungan kekerabatan atau pertemanan dari banyak orang menjadi lebih akrab. Atau, berbagai informasi lebih cepat tersiar. Tetapi, tetap berhati-hatilah dalam menggunakannya. Untuk itu, di titik ini, semoga ajaran menahan diri di Ramadhan dapat menyelamatkan kita saat ber-medsos.
Kapan Kritis
Medsos telah membuat banyak orang (merasa) makin pintar tanpa harus membaca banyak buku, koran, dan yang sejenisnya. Berbagai informasi lalu-lalang tiap saat, nyaris 24 jam dalam sehari. Pergerakan informasi sungguh sangat dinamis.
Lewat medsos, semisal WhatsApp (WA), sebuah informasi yang dianggap penting bisa tersebar luas secara viral dalam sekejap. Sebab, banyak orang yang lalu bersedia berperan sebagai ‘Pak Pos’ yang rajin mengantarkan surat.
Lihatlah! Sebuah informasi yang dianggap penting dan diterima seseorang di sebuah group WA, dalam hitungan detik oleh orang tersebut akan ditularkannya ke berbagai group WA lain yang diikutinya. Saat itu, bisa saja niat orang tersebut adalah untuk berbagi (baca: berbuat baik) kepada sesama.
Sementara, orang-orang yang mendapat kiriman informasi itu dan juga merasa mendapatkan ilmu atau pencerahan yang bermanfaat akan bersikap serupa yaitu segera meneruskannya ke berbagai group WA lain yang diikutinya. Demikian siklus perjalanan informasi itu berputar, menyebar sangat cepat bak virus.
Tapi, sayang! Sebagian dari pengguna medsos itu kurang kreatif (untuk tak menyebut malas). Berikut ini contoh sikap kurang kreatif itu. Postingan yang diterima seseorang berjudul “Renungan di Pagi Hari”. Saat di malam hari dia berkesempatan meneruskan postingan itu ke berbagai group yang diikutinya, dia tak mengubah judul itu menjadi “Renungan di Malam Hari”. Maka, bagi yang cermat akan segera tahu jika si pengirim tidak kreatif.
Tak hanya tidak kreatif, tapi bahkan juga tak kritis. Para ‘Pak Pos’ itu secara gegabah meneruskan berbagai postingan yang sejatinya tak bermanfaat. Bisa disebut demikian karena ‘ilmu’ yang dibagikan tak didasarkan kepada referensi yang meyakinkan dan bisa pula karena hanya berupa candaan yang tak bermutu.
Perhatikanlah, sekadar menunjuk tiga contoh berikut ini. Pertama, postingan undangan palsu. Sekitar tiga hari menjelang Ramadhan lalu, banyak orang dibuat masygul dengan beredarnya sebuah undangan “Buka Puasa Bersama” di sebuah hotel mewah yang ternyata hanya palsu meski –mungkin- diniatkan bercanda oleh si pengirim.
Ceritanya, di sebuah group WA muncul postingan dari salah seorang anggotanya. Isinya, mengharap seluruh anggota group berkenan hadir di acara “Buka Puasa Bersama” yang diadakannya di sebuah hotel mewah lengkap dengan alamat dan waktunya. Setelah maksud surat sudah tersampaikan, surat itu diakhiri dengan penjelasan yang menyebutkan bahwa rangkaian kalimat di atas adalah “Contoh dari surat undangan Buka Berbuka Bersama”.
Artinya, kita ‘ditipu”. Setidaknya bagi sebagian yang menerima, postingan itu bisa saja dirasa sangat “mengganggu hati”.
Kedua, postingan yang bermain-main di wilayah ‘sensitif’. Bunyinya: Waspadalah! Menjelang Ramadhan banyak hadits palsu di WA. Beberapa contoh Hadits palsu yang berhubungan dengan Ramadhan yang tahun lalu sudah beredar: “Dan barangsiapa yang menjalani malam² bulan puasa dengan tidak tidur dan tidak mengerjakan amalan² sholeh, itu adalah contoh orang² yang Begadang tiada artinya” (H.R. Oma Irama). “Dan barangsiapa yang di saat berbuka puasa masih berada di jalan, maka orang yang demikian itu tergolong ke dalam golongan orang yang tersesat dalam kemacetan” (H.R. Rasuna Said). Pertanyaannya, buat apa mengambil tema canda dari hal-hal yang ‘sensitif’ seperti itu?
Ketiga, postingan tak bermakna. Intinya, postingan itu berisi permintaan maaf dari seseorang karena akan segera memasuki bukan Ramadhan tetapi disampaikan dengan bahasa yang “sangat asing”. Bacalah postingan ini: “De’ sadejeh Taretan se muljeh…. Angadebih deteng epon bulen se muljheh enggi ka’ dintoh Ramadhan …. beden kauleh sareng kaluarga nyo’onnah saporanah se tadek betesseh atas sajedeh lalampaan se sala tor lopot. Baden kauleh rep ngarep ben parnyo’onan malar mogeh sadejeh Taretan se bedeh e delem group ka’ dintoh eparengi gempang kalaben lancar ngalampae Ibade e bulen Romaden se paleng muljeh”.
Mengertikah Anda dengan postingan di atas? Jika Anda bukan orang Madura, bisa dipastikan Anda tak akan bisa memahami isi postingan tersebut. Pertanyaannya, buat apa memosting sesuatu jika yang kita posting isinya tak dimengerti oleh si penerima?
Apa akibat dari beredarnya informasi yang tak berkualitas seperti itu? Pertama, bagi si pengirim, bisa saja digolongkan bahwa dia telah melakukan sebuah pekerjaan yang tak bermanfaat, suatu aktivitas yang kita diminta untuk meninggalkannya. “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah). Kedua, bagi si penerima, dia akan sangat terugikan. Ilmu dia tak bertambah dan waktu dia yang sangat berharga menjadi hilang karena tersita di saat membaca informasi ‘sampah’ tadi.
Bisa saja semua pengirim “postingan yang bermasalah” itu sedang bermaksud bersedekah. Mereka mungkin bersandar kepada ajaran Nabi Muhammad Saw, bahwa segala macam perbuatan baik adalah sedekah. Maka, dengan anggapan bahwa postingannya akan dianggap lucu dan bisa menyenangkan orang, ‘bersedekahlah’ mereka dengan postingan yang aneh-aneh itu. Tentu saja, ini sikap yang perlu kita kritisi.
Sekarang, berbagai sarana komunikasi memang bisa kita gunakan untuk berdakwah. Dengan “hand-phone cerdas” yang kita miliki, kita bisa berdakwah, misalnya dengan cara mengirim ‘nasihat’, ‘hikmah’, atau lainnya yang dirasakan bisa menyentuh hati orang. “Barang-siapa memberi petunjuk pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikuti ajakannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun juga” (HR Muslim). Meski demikian, tetap harus berhati-hati dalam menulis atau meneruskan sebuah postingan! Tulislah atau pilihlah postingan yang isinya baik dan benar cara penyampaiannya.
Dua Pilihan
Puasa Ramadhan didesain agar kaum beriman bisa menjadi taqwa. Sementara, substansi taqwa adalah sebuah sikap untuk selalu berhati-hati di setiap langkah hidup. Maka, semoga taqwa dapat membimbing kita agar selalu selamat di setiap keadaan termasuk di saat kita berinteraksi di media sosial.
Sungguh, lulusan Universitas Ramadhan itu -orang yang bertaqwa itu- akan selalu berusaha untuk mengamalkan panduan di HR Bukhari – Muslim ini: “Barang-siapa beriman kepada Allah dan hari Akhirat, maka hendaklah berkata yang baik atau diam”. []