Oleh: Eka Sugeng, Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Malang
MELAYAT adalah aktifitas seseorang atau beberapa orang secara sendirian/bersama-sama menjenguk untuk menghibur atau menyampaikan ungkapan turut berbelasungkawa dan berempati kepada seseorang/beberapa orang yang tengah ditimpa kesedihan/kesusahan/musibah.
Kata ‘melayat’ pada judul, bukan semata bermakna seperti kalimat pertama diatas, akan tetapi merujuk pada ungkapan cerdas nan dahsyat lagi tepat, yang disampaikan oleh para shahabat Rasulullah SAW dan ulama-ulama setelahnya. Salah satu dari mereka adalah ungkapan yang dilontarkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Diriwayatkan, bahwa suatu hari di akhir-akhir bulan Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”
Subhanallah, sekilas membaca sungguh indah sekali tutur katanya dan barangkali diluar dugaan kita, bahwa sebegitu rendah hatinya seorang Sayyidina Ali ra benar-benar ingin tahu (andai Beliau bisa tahu) dan ingin sekali mengucapkan selamat pada siapapun yang amalannya sukses diterima Allah SWT selama bulan Ramadhan.
Karena alasannya sangat jelas, segala ibadah wajib dan sunnah (seperti puasa, shalat fardlu, shalat sunnah, tadarrus al Qur’an, zakat, sedekah, dll.) yang dilakukan oleh seorang muslim/muslimah di bulan mulia ini maka akan diganjar dengan balasan yang berlipat ganda oleh Allah SWT tanpa batas, ditambah lagi segala dosanya yang telah lalu akan diampuni dan seketika keluar dari bulan Ramadhan, ia akan kembali fitrah (suci) laksana bayi yang baru lahir. Maka, sungguh tak heran dan pantaslah bila seorang Sayyidina Ali, shahabat Rasulullah SAW sekaligus menantu Beliau, ingin sekali memberi ucapan selamat atas kesuksesan luar biasa ini.
Apa yang diucapkan oleh Sayyidina Ali radhiallahu ‘anhu ini senada dengan apa yang dikatakan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Beliau berkata,“Siapakah gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita ‘layati’.
Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang ditolak amalannya, semoga Allah menambal musibahmu.” Subhanallah, tidak nampak sedikitpun dari manusia mulia sekaliber Sayyidina Ali radhiallahu ‘anhu dan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengklaim dirinya sendiri sebagai hamba yang tepat untuk diberi ucapan selamat oleh para shahabat yang lain.
Namun, beliau sendiri bertanya-tanya siapakah gerangan orang yang paling berbahagia di antara para shahabat dan kaum muslimin saat itu. Barangkali, maksud dan tujuan Beliau-beliau ingin mengucapkan selamat adalah begitu rindunya ingin juga merasakan nikmatnya kebahagiaan luar biasa yang secara langsung diberikan Allah SWT itu.
Akan tetapi, pernyataan sebaliknya, bila memang ada seorang muslim/muslimah yang tidak layak dan tidak pantas menerima ucapan selamat, maka tak lain dan tak bukan dia termasuk orang-orang yang mendapat musibah itu sendiri. Musibah yang diterima jelas bermakna bahwa Allah SWT tidak menerima amal ibadahnya bulan Ramadhan yang dilaluinya.
Bisa jadi itu semua karena puasa yang dijalani mungkin tidak sepenuhnya didasari iman kepada Allah SWT dan kesabaran, akan tetapi dikarenakan keterpaksaan atau bahkan terkadang puasanya sering batal tanpa alasan syar’i. Bisa juga dikarenakan shalat wajib dan sunnahnya sangat sering tidak tepat waktu atau bahkan tidak shalat lima waktu. Mungkin juga karena bersedekah atau berzakat tidak sepenuhnya ikhlas karena Allah SWT, akan tetapi tercampur dengan keinginan untuk dipuji/dipublikasikan/tebar pesona sekedar ingin mendapatkan simpati konstituen/masyarakat pemilihnya, dan lain-lain.
Hingga akhirnya bulan yang penuh berkah ini justru menjadi ‘kendaraan’ yang sangat nyaman untuk meraih target kepentingan politis, ekonomis, popularitas dan duniawi semata. Maka, sedikit contoh tidak baik yang penulis sebutkan itu pastilah menjerumuskan kita sendiri menjadi orang yang tepat untuk ‘dilayat’. Naudzubillahi min dzalik.
Oleh karenanya, di moment detik-detik akhir bulan Ramadhan dan menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun ini, mari kita lihat prestasi ibadah diri sendiri sembari bertanya dalam hati bahwa layak dan pantaskah ucapan selamat itu kita terima atau malah orang lain yang sebenarnya kita harapkan untuk ‘melayat’ kita? Ada baiknya pesan Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali berikut ini benar-benar kita camkan mulai sekarang bahwa, “Para ulama salaf, berdoa kepada Allah selama enam bulan agar mereka disampaikan kepada bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa lagi selama enam bulan agar Allah mau menerima amalan ibadah mereka tersebut (selama di bulan Ramadhan).” []