Oleh: Farida Suryawati, fsuryawati@yahoo.com
PULUHAN jarum terasa menusuk jantung. Napasku tercekat. Langkah pun tersekat kala lorong bangsal berselimut gelap. Mataku mengembara hingga tertumbuk pada sebuah keranda. Aku menggelengkan kepala menepis pikiran buruk yang berkelana.
Lorong panjang bagai tak berujung. Suasana hening. Hanya terdengar langkahku yang tergabas. Hati mulai bimbang. Ya Allah … beri dia kesempatan.
Ruang itu berwarna pucat sepucat penghuninya. Selang-selang yang terpasang terlihat garang. Aku menyentuh tanganmu yang kurus berbalut keriput terasa dingin dan hambar. Goresan tanganku dua tahun lalu tentang Al Fatihah dan An Nas tersudut di ujung dipan.
“Jam berapa keretanya datang?”
“Eyang ….” Suaraku lembut menyapa cuping telingamu.
“Jam berapa keretanya datang?”
Pertanyaan yang sama keluar dari bibirmu yang mengerut. Pertahananku runtuh. Butir bening pun luruh. Bibirku kelu. Aku mengusap tangan kurus itu dengan lembut. Tampak bibir lemah bergetar.
“Allah … Allah ….”
Setelah lebih dari separuh hidupmu hanya ‘Gusti’ yang kaukenal.
***
Kala bocah aku sering menerobos bilikmu. Saat malam datang dan bola mataku tak kunjung terpejam. Aroma balsam menusuk tajam penciuman. Radio transistor warna perak membahana menyiarkan sandiwara cinta. Kau telah lelap. Mulutmu menganga sebab gigi telah lesap. Sekali-kali suara batuk menggema.
Aku merebahkan tubuh di sisimu hingga fajar menyapa. Saat kornea terbuka tak kutemui kau di sana. Suara gaduh kuali dan panci beradu serta mata memedih sebab asap tungku menandakan hadirmu. Tak lama hidangan pun tersedia. Kau tunaikan amanat itu dengan prima.
Kutatap tubuhmu yang ringkih sedang berjalan tertatih. Tanganmu yang ramping menyentuh bunga anggrek pujaan. Matamu yang telah lamur mendekat. Kau mulai berburu tuma. Lagu Patah Hati mengalun dari bibirmu yang penuh kerut. Lagu yang sama yang selalu kau nyanyikan setiap saat tentang patah hati, pedih, dan sendiri.
Kau satu leluhur lain ibu. Tak pernah ada tenda biru atau janur kuning meliku. Hidupmu telah kau tuntaskan untuk kami. Saat ayah dan ibu berjuang untuk kepulan asap tungku dan ongkos membeli buku. Kau setia menjaga kami. Bila bahagia saat kau tak mendekap anak dari rahim sendiri juga tak menghabiskan sisa usia bersama kekasih hati. Jika alam fana tak kuasa menyediakan suka aku harap alam baka menyiapkanmu bahagia.
“Eyang, kenapa tidak shalat?” tanyaku dua tahun lalu.
“Dulu tak ada yang mengajari Eyang.”
“Banyak buku-buku tentang salat, Eyang.”
“Tulisannya kecil-kecil. Eyang tak bisa membacanya. Mata ini telah lamur.”
Aku mengambil buku bergaris. Kugoreskan aksara yang membuntal tentang ayat-ayat Ilahi juga cara memuja Sang Maha. Kulihat binar pada kornea kala kau mulai mengenal-Nya.
Usia telah senja. Pikir pun semakin payah. Namun bibir kerutmu tak jeda merapal doa. Aku menatapmu haru dari sudut ruang itu. Sekali lagi pintaku jika alam fana tak memberimu suka berharap ‘di sana’ kelak kaubahagia.
Aku terpaksa meninggalkanmu untuk menuntut ilmu. Kala lafal belum fasih dan gerakmu masih tertatih. Kuharap kau tak pernah letih.
***
“Lintang, Eyangmu tak sadarkan diri terjatuh di kamar mandi!”
Aku tersentak menerima kabar itu. Sudah cukupkah aksara itu bagimu? Tentang Al Fatihah dan An Nas yang kau rapal tanpa lelah.
Tentang shalatnya juga bersuci yang sah. Aku tergugu dalam bimbang yang membuncah.
***
Kugenggam jari tirusmu. Bibirku yang kesi tak henti melantunkan ayat Ilahi. Mustaka merenyut mencari asal suara. Matamu tetap tertutup. Tenagamu menguat. Lenganmu yang ringkih terangkat lalu bergerak laksana berwudu.
“Eyang ….” Napasku tercekat. Kuseka keningmu yang berpeluh.
“Jam berapa keretanya datang, Mbakyu?’’ kausapa kakak perempuanmu yang telah berpulang terlebih dulu.
Matamu terpejam. Suara melemah. Kotak itu menampilkan grafik yang melandai.
“Allah … Allah ….”
Kugenggam erat tangan yang mengurus. Aku berusaha tegar menghampiri cuping telingamu. Tak kuhiraukan mata yang telah mengembun.
“Asyhadu an laa Ilaaha Illallah ….” Bibirmu lemah bergetar melafal syahadat.
Tanganmu yang kurus bergerak lalu sedekap. Matamu terpejam semakin dalam. Lalu … kotak itu berdecit panjang.
Kornea mengembun. Sanubariku luas melepas. Tak lagi ada resah kala penghabisanmu berujung hasan.
“Subhanallah …,” bisikku lirih.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Bahagiakan dia di alam kekal-Mu.”
Bulir bening tak kuasa kubendung, luruh. []
_____________
Biodata Penulis
Farida Suryawati. Lahir di Probolinggo, Jawa Timur dan tinggal di kota Serang, Banten. Menikah dan memiliki dua orang putra. Menyelesaikan pendidikan terakhir di Institut Pertanian Bogor. Memutuskan untuk berwirausaha setelah berkarier di luar rumah selama lebih dari lima belas tahun. Berkonsentrasi pada usaha kreatif dan pemanfaatan limbah kaleng bekas. Menekuni bidang kepenulisan sejak satu tahun terakhir. Beberapa buku antologi yang telah diterbitkan Melukis Ka’bah (LovRinz Publishing, 2014), Jarak Cinta (LovRinz Publishing, 2015), dan Subuh yang Paling Sunyi (LovRinz Publishing, 2015). Bisa dihubungi di alamat email fsuryawati@yahoo.com atau No. Hp.085714691163.