ABU Abdillah Muhammad bin al-Hasan bin Farqad Asy-Syaibani lahir pada tahun 132 H (750 M) di kota Wasith, ibukota Irak pada masa akhir pemerintahan Bani Umawiyyah dan Wafat tahun 189 H (804 M). Imam Asy-Syaibani yang baru berusia 14 tahun berguru kepada Abu Hanifah selama 4 tahun, yakni sampai nama yang terakhir meninggal dunia.
Setelah itu, ia berguru pada Abu Yusuf, salah seorang murid terkemuka dan pengganti Abu Hanifah, hingga keduanya tercatat sebagai penyebar mazhab Hanafi. Dan belajar kitab al-Muwatta pada Malik bin Anas.
Secara finansial, ia tampaknya telah kaya. Warisan dari ayahnya dikatakan sekitar 30.000 dirham, sebagian besar telah dihabiskan untuk digunakan pendidikan (Arnoos, 1986).
Hal ini tampaknya telah tercermin dalam pandangannya seperti yang ditunjukkan dalam bukunya. Tapi kekayaan ini tidak menyebabkan kesombongan. Kita melihat Dia menekankan dalam bukunya bahwa orang kaya membutuhkan orang miskin sebagai miskin membutuhkan orang kaya
Imam Asy – Syaibani sering berinteraksi dengan ulama ahlul ra’yi dan hadits dan karena keluasan pendidikannya sehingga Syaibani mampu mengkombinasikan antara aliran ra’yu di irak dengan hadits di Madinah.
Setelah abu Yusuf meninggal beliau diminta oleh khalifah Harun Al-Rasyid untuk menggantikan abu Yusuf sebagai qadhi di kota Riqqah (Irak). Namun hanya berlangsung singkat. Sehingga beliau mengundurkan diri untuk lebih konsentrasi pada pengajaran dan penulisan fikih. Imam asy-Syaibani meninggal pada tahun 189 H (804 M) di kota al-Ray dekat Teheran (Iran).
BACA JUGA: Kisah Ilmuwan Muslim yang Dituding Lakukan Sihir
Di masa kepemimpinan beliau, perekonomian islam berkembang secara signifikan . Imam Asy-Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan dapat hidup kecuali dengan empat perkara, yaitu : makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal.
Para ekonom yang lain mengatakan bahwa keempat hal ini adalah tema ilmu ekonomi. Jika keempat hal tersebut tidak pernah diusahakan untuk dipenuhi, ia tidak akan meraskan kesejahteraan karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa keempat hal tersebut. Imam Asy-Shaybani mengatakan bahwa kasb merupakan kewajiban pada analogi mencari pengetahuan artinya diperlukan untuk pembagian kerja.
Imam Asy-Syaibani mengungkapkan bahwa untuk mencapai kesejahteraan ekonomi dibutuhkan saling membantu dan mendekatkan diri pada Allah adalah zakat dan sedeqah. Dan untuk mencari nafkah ada empat cara dasar yaitu: menyewa tenaga kerja, perdagangan, pertanian, dan kerajinan.
Pengungkapan tersebut juga dijelaskan oleh imam Asy-Syaibani. Pertama, Pertanian lebih berjasa daripada perdagangan, dikatakan bahwa pertanian karena manfaatnya yg dirasakan masyarakat banyak (dengan beras sebagai bahan makanan pokok). Kedua, pertanian dan kegiatan turunan, adalah penyedia utama kebutuhan makhluk hidup lainnya, burung dan hewan, yang dapat dimakan atau sebaliknya. Ketiga, sebagai bahan baku. Keempat, pertanian menyediakan sumber untuk zakat dari dalam sebagai sedekah wajib, seperti zakat, pada pertanian ditetapkan dalam Qur ‘an.
BACA JUGA: Ekonomi Islam untuk Kemaslahatan Dunia Akhirat
Jika kita melihat dari bagaimana dengan pertumbuhan perekonomian sekarang, sangat memungkinkan untuk bisa meniru konsep yang telah diterapkan di masa Imam Asy-Syaibani. Dengan mengedepankan sektor pertanian merupakan solusi terbaik untuk mengembangkan perekonomian di negara agrarian seperti Indonesia.
Didukung penduduk Indonesia yang 80% merupakan mayoritas beragama islam, sangat memungkinkan untuk mencapai kesejahteraan ekonomi dengan berzakat dan sedekah sebagaimana yang telah diajarkan oleh rasulullah saw dan dikembangkan di masa imam Asy-Syaibani.
Wallahu a’lam bishawab. []