TERNYATA, tidak sedikit yang memahami bahwa hukum berhutang itu makruh, dalam arti dibenci atau tercela. Bahkan sebagian ada yang sampai memahami haram. Hal ini tidak hanya dipahami oleh sebagian ‘ikhwan’ saja, tapi juga sebagian ustadz. Menurut hemat kami, Ini pendapat yang tidak tepat. Kekeliruan dalam hal ini mungkin disebabkan salah dalam memahami dalil, atau keliru dalam meletakkan dalil.
Berhutang jika memang dibutuhkan, maka hukumnya mubah (boleh), tidak makruh apalagi haram. kenapa ? Nabi SAW sendiri pernah berhutang seekor onta kepada salah seorang sahabatnya. Jika makruh, apalagi haram, sudah pasti beliau tidak akan melakukannya. Yang tercela, ketika seorang punya hutang, akan tetapi menunda-nunda pelunasannya padahal kondisinya mampu, atau seorang yang punya hutang tidak segera membayar sampai akhirnya meninggal dunia. Karena hutang, akan menghambat seorang masuk ke dalam Surga sampai diselesaikan/dilunasi. Mungkin, sebagian yang menganggap hutang sebagai perkara yang tercela, memakai dalil-dalil yang sebenarnya ditujukan kepada orang-orang yang tidak beres dalam membayar hutang, atau untuk mereka yang meninggal dalam kondisi punya hutang. Ini dua hal yang berbeda. Sehingga meletakkan dalil-dalil ini untuk menyimpulkan bahwa berhutang itu tercela, atau bahkan haram, merupakan penepatan dalil yang tidak tepat alias salah sasaran.
BACA JUGA: Naik Haji Dulu atau Bayar Utang Dulu?
Imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676) berkata :
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ جَوَازُ الِاقْتِرَاضِ وَالِاسْتِدَانَةِ
“Di dalam hadits ini (hadits tentang Nabi SAW yang berhutang seekor onta kepada sahabatnya) terdapat dalil akan bolehnya memimjam dan berhutang.”[Syarh Shahih Muslim : 11/37].
Hutang itu meminjam harta orang lain dengan niat akan dikembalikan. Lain halnya dengan meminta-minta. Kalau meminta-minta, maka hukumnya tercela karena tidak ada bentuk pengembalian dengan apa yang telah diminta sebelumnya. Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata :
وليس بمكروه في حق المقرض. قال أحمد: ليس القرض من المسألة. يعني ليس بمكروه؛ وذلك لأن النبي – صلى الله عليه وسلم – كان يستقرض، ولو كان مكروهًا، كان أبعد الناس منه
“Berhutang hukumnya bukan makruh (dibenci) pada hak orang yang berhutang. Imam Ahmad berkata : “Hutang itu bukan meminta, maksudnya bukan perkara makruh. Yang demikian itu, karena Nabi SAW sendiri berhutang. Seandainya makruh, tentu beliau seorang yang paling jauh dari hal itu.”[Al-Mughni]
BACA JUGA: Apakah Utang Menghalangi Kewajiban Zakat?
Namun, sebelum berhutang hendaknya seorang perlu mempertimbangkan tiga hal : 1). Bisa mengembalikan, 2). Hal yang dibutuhkan bisa tertutup, 3). Berniat untuk mengembalikan. Hukum ini, dilihat dari sisi orang yang berhutang. Akan tetapi, jika seorang bisa lepas sama sekali dari hutang, tentu lebih baik (tapi sulit kayaknya).Adapun dari sisi orang yang menghutangi/meminjami, maka mustahab (sangat dianjurkan) karena termasuk dalam perbuatan baik dengan membantu kesuliatan saudara muslim. Jadi, jangan lagi ada yang salah paham. Barakallahu fiikum.Pembahasan ini juga bisa disimak pada kitab : Mawahibul Jalil (5/32), Nihayatul Muhtaj (4/221), dan Kasysyaful Qina’ (3/313).
Facebook: Abdullah Al-Jirani