LARANGAN Allah SWT ada yang haram dan ada yang makruh. Haram adalah larangan Allah yang harus ditinggalkan. Sedangkan makruh, adalah larangan Allah yang tidak harus ditinggalkan.
Perkara haram jika dilakukan, maka pelakunya berhak mendapatkan dosa atau hukuman. Sedangkan perkara makruh jika dilakukan, maka pelakunya tidak berhak mendapatkan dosa atau hukuman.
Dua hukum ini (haram dan makruh), merupakan dua hal yang berbeda, baik dari sisi pengertian, konsekwensi, dan cara menyikapi pelakunya.
BACA JUGA: Makruh Mengulang Jima tanpa Wudhu?
Makruh itu dari satu sisi dilarang, tapi dari sisi yang lain diperbolehkan, karena larangannya bersifat tidak jazm (tidak pasti/ tidak harus ditinggalkan).
Berbeda dengan haram yang larangannya bersifat jazm (pasti/harus ditinggalkan). Imam Taqiyyu Ad-Din Al-Hishni Asy-Syafi’i (w. 829 H) rh dalam kitab “Kifayatul Akhyar” menyatakan:
لِأَن الْمَكْرُوه جَائِز الْفِعْل
“Karena sesungguhnya perkara yang makruh itu boleh untuk dilakukan.”
Idealnya, seorang itu tidak melakukan hal-hal yang dimakruhkan. Namun seorang tidak boleh memaksa orang lain untuk meninggalkan perkara makruh. Kalau sekedar menganjurkan, maka boleh-boleh saja.
Seorang juga tidak boleh untuk menyikapi orang lain yang melakukan perkara makruh sebagaimana menyikapi seorang yang melakukan perkara haram.
Sering kali kita terlalu sibuk memperhatikan orang lain sampai dalam hal-hal makruh yang mereka lakukan, tapi kita lalai dengan kondisi diri kita sendiri. Bisa jadi tanpa kita sadari kita juga masih banyak melakukan hal-hal makruh.
Contoh perkara makruh yang mungkin masih sering kita lakukan, adalah meninggalkan salat tahajjud terus menerus yang sebelumnya telah dijadikan sebagai kebiasaan.
Dalam kitab “Tuhfatul Muhtaj” (2/246), Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i (w. 976 H) menyatakan:
(وَ) يُكْرَهُ (تَرْكُ تَهَجُّدٍ اعْتَادَهُ) بِلَا ضَرُورَةٍ (وَاَللَّهُ أَعْلَمُ) «لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ لَا تَكُنْ مِثْلَ فُلَانٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ ثُمَّ تَرَكَهُ»
“Dan dimakruhkan meninggalkan salat Tahajjud yang telah dia jadikan hal itu (tahajjud) sebagai kebiasaan tanpa ada darurat -wallahu a’lam- (dan Allah Yang Maha Tahu) berdasarkan sabda Nabi SAW kepada Abdullah bin Amer bin Al-Ash ra: “Jangan seperti si fulan (si anu) dulu salat malam, kemudian meninggalkannya.”
Ini baru satu contoh. Dan masih banyak contoh yang lain. Hal ini perlu kami jelaskan, karena ada sebagian pihak yang memahami seolah larangan dalam agama itu hanya haram saja, tidak ada yang makruh.
BACA JUGA: Ini Ketika Berhubungan Suami Istri Jadi Wajib, Sunnah, Makruh, dan Haram
Atau sebenarnya tahu ada yang haram dan ada yang makruh, tapi tidak paham titik perbedaannya. Atau menyikapi perkara makruh seolah menyikapi perkara yang haram.
Akhirnya mereka tidak hanya mezalimi hukum agama saja, tapi juga mezalimi sesama muslim. Kuncinya untuk lepas dari “kejumudan” ini, terus belajar dan belajar kepada ahlinya.
Semoga tulisan singkat dan sederhana ini bisa memberikan manfaat kepada kita sekalian. wallahu a’lam bish shawab. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani