Oleh: Raidah Athirah
Penulis, Tinggal di Polandia
“Anak-anak harus tahu bahwa ia adalah sebuah keajaiban, karena sejak awal dunia diciptakan, hingga dunia berakhir, tidak akan ada satupun seorang anak yang menyerupainya,” (Pablo Casals).
KETIKA takbir berkumandang di Masjid Warsawa, saya tengah memegang erat tangannya menyusuri trotoar di sepanjang Blue City di ibukota negeri ini. Abu Aisha kupersilahkan duduk tenang di dalam Masjid mengucap kalimat takbir, tahmid dan tahlil di hari kemenangan di antara kumpulan Muslim yang datang hari itu.
Hari raya tahun ini adalah hari raya spesial karena pada akhirnya kami menemukan terang dari titik juang selama musim ke musim terhadap kondisi putri kami yang tak kami ketahui.
Orang mengira bahwa kami orang tua luar biasa. Sama sekali tidak! Putri kami adalah keajaiban luar biasa. Ia membawa kami melangkah untuk memahami cinta yang luar biasa yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata.
Hari raya pada tahun-tahun lalu kami lalui dengan kecemasan. Kami dilanda khawatir manakala perilaku putri kami di luar kontrol. Bila marahnya tak bisa dikendalikan, ia tak segan memukul dirinya sendiri. Sebuah tindakan yang kami tak mengerti. Ada rasa bersalah dan kebingungan kala ia tak merasa tertarik bermain dengan anak-anak yang lain. Sekalipun terlihat di luar ia bermain bersama, beberapa menit kemudian ia akan memisahkan diri.
Energinya seakan tak berkurang, ia meloncat beberapa menit kemudian suara tawa cekikan terdengar riuh darinya. Ia seperti tak tahu kapan harus berhenti sekalipun tubuhnya sudah sangat dilanda kelelahan.
Malam-malam berlalu penuh perjuangan. Sebagaimana orang tua lainnya, kami berikhtiar agar ia sudah terlelap pada pukul delapan malam. Lampu sudah dimatikan. Ia sudah kami suapi dua jam lalu supaya tidak terbangun di tengah malam. Kenyataannya, jarum jam sudah bertengger di angka satu malam ia masih sibuk berjalan ke dapur. Menit berlalu ia kembali melangkah ke ruangan mengatur mainan puzzle yang belum selesai. Terkadang,ia meletakkan mainan dalam rumpun warna yang sama.
Itu adalah sebagian kecil hari -hari yang kami lalui sebagai rutinitas. Di titik lelah, kami berdoa Allah,Tuhan Yang Maha Rahman, membimbing dan menunjukkan kami jalan sabar dan cahaya berupa ilmu untuk lebih mamahami dunia dimana putri kami tinggal.
Dunia yang berbeda dari anak-anak pada umumnya. Dunia yang memiliki jalannya sendiri. Dunia yang dipenuhi jiwa-jiwa ketulusan. Kami menyaksikan bagaimana putri kami menjauh kala ibu mertua kami sedang dihinggapi rasa marah. Di hari yang lain, kami mengunjungi ibu mertua dan menyaksikan bagaimana ia merespon dengan mengecup pipi beliau. Sebuah respon yang berbeda dari sebelumnya.
Ia senang memandang air. Warna api juga merupakan hal yang sangat menarik baginya. Ia bisa meloncat kegirangan bila menyaksikan warna api menyala-nyala. Sifatnya lembut dan pemalu tapi kalau merasa terganggu ia menjadi marah dan agresif. Terkadang ia memeluk anak-anak lain yang ia temui di taman. Hanya anak-anak.
Ia bisa membaca rasa. Bila bertemu dengan orang dewasa, ia membaca bagaimana mimik wajah mereka. Beberapa saat kemudian, tangan kanan ia ulurkan sebagai tanda salaman. Sebaliknya bila ia tak suka, pergelangan tanganku akan ditarik untuk menjauh.
Ia senang mendengar lantunan ayat suci Al-Quran. Di akhir surah Al-Fatihah yang selalu kami bacakan kepadanya, bibir mungilnya selalu menyebut kata “Aamiin”. Bismillah terdengar hanya berupa “Millah”. Dan nama Allah terdengar jelas.
****
Putriku.
Namanya Aisha Pisarzewska terlahir di ibukota Warsawa pada musim manakala daun-daun berguguran ke tanah. Musim yang mengajarkan kepada kami bahwa anak yang kami lahirkan sesungguhnya hanya titipan.
Ia tunas yang dipercayakan kepada kami untuk dijaga, dirawat dan disayang. Kelak bila waktu tiba, ia akan bersemi atas izin Tuhan sebagaimana warna yang ia pilih.
Orang menganggap anak seperti putri kami adalah ujian. Tidak! Ini sungguh sebuah pandangan keliru dari orang-orang di luar sana. Kami justru bersyukur di tengah segala kelemahan dan kurangnya pengetahuan, kami berjalan, melangkah dan kemudian memahami bahwa putri kami adalah karunia dari surga.
Ia adalah karunia yang tak berhak kami gugat dengan pertanyaan mengeluh mengapa titipan yang dikaruniakan ini seperti ini. Mengapa warnanya bukan seperti warna yang kami suka. Mengapa dan mengapa kami belum bisa mengerti bahwa titipan yang Allah, Tuhan Yang Maha Rahim karuniakan melahirkan beragam kebaikan di kemudian hari.
Kami pernah berpikir bahwa kamilah yang melindunginya padahal justru putri kami menjadi rahmat bagi kami dalam beragam interaksi sosial dengan manusia. Ia menjadi berkah bagi kami.
Ia adalah jawaban dari doa-doa kami di masa lalu. Doa agar keturunan kami dilindungi dari segala hal yang haram. Ia tak makan kecuali makanan yang kami masak atau buah-buahan yang ia tahu. Hal yang meragukan ia tinggalkan. Ia mencium makanan, memperhatikan setiap detailnya, memandang mimik wajah kami dan kemudian menaruh sebagian di permukaan lidah, bila meyakinkan, ia meneruskan menyantap, bila tidak ia meletakkan kembali di atas piring tanpa kata-kata.
Pernah di apartemen mertua ia disuguhkan sepotong kue lezat nan menggoda dengan warna merah muda yang menawan. Ia bahkan tidak mencicipi. Saat ibu mertua memaksa memasukkan sepotong kecil di mulutnya, ia menjadi marah dan kemudian mengambil tangan dan menyuruh beliau berdiri di dapur. Kami semua tertawa tapi pada akhirnya kami bersyukur karena kue enak itu berisi gelatin babi yang tertera jelas di tulisan kertas pembungkusnya.
Cinta yang ia tunjukkan memang tak biasa, tanpa kata-kata. Tapi ia memiliki jiwa yang kaya empati. Kami tak pernah khawatir membawanya berbelanja karena ia tak akan menangis merengek atau berguling-guling minta dibelikan mainan seperti anak yang lain. Tantangan terbesar bagi kami adalah menjadi pribadi yang tenang ketika tiba-tiba ia berteriak di tengah kerumunan antrean tanpa sebab yang kami ketahui.
***
Putriku.
Ia adalah keajaiban dari harapan-harapan yang kami panjatkan ke langit. Ada momen dimana saya mengingat pembelaannya saat terjadi kesalahpahaman antara saya dan Abu Aisha (suami). Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Tapi kesedihan ini kentara. Ia tiba-tiba-tiba datang menghampiri, memberikan pelukan dan menepuk bahuku layaknya seorang dewasa. Tak berapa lama kemudian ia melangkah menuju ayahnya yang sedang duduk di sofa. Ia menarik tangan dan membawanya ke ruangan kecil tempat kami menyimpan sepeda dan stroller. Tak lupa ia menutup pintu, membiarkan suamiku berdiri keheranan di sana.
Ia kembali kepada saya dengan cinta . Tiba-tiba ia mengucap kata yang terdengar jelas, “Mama… Oke?”
“Alhamdulillah Mama oke, kochana.”
Saat itu ia baru berumur tiga tahun. Masya Allah, ini sebuah keajaiban. Bagaimana tidak? Saat ia berumur dua tahun, entah apa yang terjadi, ia terbangun seperti bayi kecil. Kemampuan bicaranya mengalami regresi (penurunan) padahal pada umur 10 bulan ia sudah bisa mengucapkan nama-nama hewan dalam bahasa Polandia dan bahasa Indonesia. Panggilan Tata kepada Abu Aisha terdengar jelas. Kata Mama sering sekali ia ucapkan.
Bukan saja kemampuan bicara yang menurun, ia bahkan tak menoleh walaupun namanya dipanggil berkali-kali. Ia seperti berada dalam dunia yang lain. Indra pendengarnya seakan tak berfungsi. Hampir setiap hari kami mengajaknya bermain ke taman bahkan harus melatihnya berjalan lagi seperti bayi umur satu tahun. Dan saat itu kami masih berada dalam gelapnya musim dingin dengan ujian-ujian hidup yang lain.
Kami yakin bahwa di setiap kesulitan Allah Ta’ala menjanjikan lebih banyak kemudahan. Ini hanya soal waktu dan kesabaran. Bukankah janji Allah itu nyata? Kenyataan hari ini tentang perkembangan putri kami menjawab semua jalan panjang yang membingungkan dari petualangan kami menyusun puzzle keajaiban bernama autisme.
This is extreme love that we found on her journey. We believe that she is miracle that God has given to us to be grateful, full of joy and happiness. We are learning to aware, accept and respect through all her adventure, teaching us to be more valuable to understand the extreme love she has shown. Mama i Tata bardzo kochaja, kochana. []
Polandia, 29 Juni 2017
Menulis adalah merangkai kepeningan perjalanan yang terserak
Proud to be Autism Parents
We aware, accept and respect