Khitbah atau pinangan merupakan salah satu persiapan menuju per nikahan yang disyariatkan Allah SWT dan dicontohkan Nabi SAW. Khit bah ber makna sebagai permintaan se orang laki-laki kepada wanita untuk dinikahi.
Nabi meminang untuk dirinya dan untuk orang lain, seperti dia meminang Aisyah binti Abu Bakar dan Hafsah binti Umar bin Khattab.
Sebelum terlaksananya akad nikah, untuk menambah pengetahuan dan pe ngenalan calon suami dan istri, khitbah di la ku kan. Lewat khitbah, calon suami akan me nge nal watak, perilaku dan ke cenderungan calon istri dan sebaliknya. Harapannya, kedua pasangan dapat memasuki kehidupan per kawinan kelak dengan hati dan perasaan yang lebih mantap.
“Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu le bih patut untuk melanggengkan (cinta ka sih) antara kalian berdua.” (HR at-Tar midzi). Persyaratan khitbah yang harus dipenuhi yakni tidak adanya hambatan syari berdasar kan ketentuan sya riat yang tidak memboleh kan perkawin an antar mereka. Misalnya, jika perempuan itu masih dalam masa iddah (masa menunggu sebelum dibolehkan meni kah lagi).
Sebagai langkah pertama dalam pernikahan, khitbah disertai juga dengan pemberian hadiah sebagai lambang akan berlanjutnya hubungan antara ke dua calon suami istri sampai ke pelaminan. Namun, ada kalanya karena suatu sebab tertentu, hubungan terpaksa di putuskan sebelum berlangsungnya akad pernikahan baik oleh pihak lelaki atau perempuan. Bagaimana hukum membatalkan khitbah tersebut?
Mengingat bahwa khitbah baru me ru pa kan janji untuk menikah dan bukan satu akad yang mengikat dengan pasti maka masing-masing pihak tetap me mi liki hak untuk mem batalkannya. Apa bila terdapat suatu alasan yang memak sa. Dalam pada itu, wa lau syariat tidak menetapkan suatu hukuman materi bagi siapa yang melanggar janji, tetapi menanggapnya sebagai suatu perbuatan amat tercela. Nabi SAW pernah bersabda da lam se buah hadis shahih. “Tiga tan da se orang munafik: Apabila berbi cara, dia ber bohong, apabila berjanji dia melanggar janjinya itu; dan apabila diberi ama nat, dia berkhianat.”
Dilansir dari buku Panduan Lengkap Muamalah karangan Muhammad Bagir, hadiah-hadiah yang telah diberikan dapat dibagi menjadi dua bagian mana kala terjadi pembatalan khitbah. Perta ma, jika itu merupakan hadiah yang diberikan berkaitan dengan pinangan tersebut atau diharapkan adanya imbal an berupa per kawinan dengan perempuan yang dipinang. Lantas pinangan itu dibatalkan pihak perempuan, si calon suami berhak untuk memintanya kem bali mengingat bahwa imbalan itu kini tidak dapat ber langsung.
Kedua, jika itu merupakan hadiah biasa maka dihukumkan sebagai hibah murni. Karena itu, si pemberi tidak berhak memintanya kembali. Sebab, otomatis hadiah itu telah menjadi hak miliknya. Sejak itu, dia berhak melaku kan apa saja atas miliknya tersebut. Wallahu a’lam.[]
Sumber:Khazanah Republika